Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) dibentuk untuk
menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban dan kepastian hukum, sehingga dapat
memberikan pengayoman kepada masyarakat, khususnya dalam hubungan antara Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan masyarakat. PERATUN diharapkan dapat
menyelesaikan Sengketa Tata Usaha Negara yaitu sengketa yang timbul dalam
bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di Pusat maupun di Daerah, termasuk
sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Demikian pengertian yang diuraikan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Perjalanan pelaksanaan Undang-Undang PERATUN ini sejak
diundangkan pada tanggal 29 Desember 1986, telah mengalami dua kali perubahan,
yaitu dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986, dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara. Hal yang sangat krusial dan nampaknya belum mampu memenuhi
rasa keadilan masyarakat pencari keadilan adalah ketentuan mengenai pelaksanaan
eksekusi terhadap putusan PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap.
Ketentuan pelaksanaan eksekusi terhadap putuasan PTUN
yang telah berkekuatan hukum tersebut diatur dalam Pasal 116 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 dan mengalami perubahan, terakhir dengan Undang-Undang Nomor
51 Tahun 2009. Secara lengkap bunyi Pasal 116 tersebut adalah sebagai berikut :
(1)
Salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera pengadilan
setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama
selambat-lambatnya dalam waktu 14(empat) belas hari kerja.
(2)
Apabila setelah 60(enam puluh) hari kerja putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima
tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97
ayat (9) huruf a, keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu tidak
mempunyai kekuatan hukum lagi.
(3) Dalam
hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf c, dan kemudian setelah 90(sembilan puluh)
hari kerja ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka penggugat
mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), agar pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan
tersebut.
(4) Dalam
hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan
upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan atau sanksi
administratif.
(5)
Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat oleh Panitera sejak tidak
terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(6) Di
samping diumumkan pada media cetak setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (5),
Ketua Pengadilan harus mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang
kekuasaan pemerintahan tertinggi untuk memerintahkan Pejabat tersebut
melaksanakan putusan pengadilan, dan kepada lembaga perwakilan rakyat
untuk menjalankan fungsi pengawasan.
(7) Ketentuan
mengenai besaran uang paksa, jenis sanksi administratif, dan tata cara
pelaksanaan pembayaran uang paksa dan/atau sanksi administratif diatur dengan
peraturan perundang-undangan.
Ketentuan pelaksanaan eksekusi
putusan PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut secara tersurat
nampaknya sudah sangat menjanjikan akan mampu memberikan kepastian hukum para
pencari keadilan. Tetapi dalam prakteknya penerapan Pasal 116 tersebut,
khususnya ayat (4) dan ayat (6) oleh PTUN masih sangat jauh dari harapan.
Pasal 116 ayat (4) yang menyatakan
bahwa “Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan
dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan atau sanksi
administratif”, aturan pelaksanaanya belum ada sampai saat ini baik dalam
bentuk Peraturan Pemerintah maupun peraturan perundang-undangan yang lebih
rendah, padahal ayat (7) Pasal 116 Undang-Undang ini telah mengamanahkan bahwa
“Ketentuan mengenai besaran uang paksa, jenis sanksi administratif, dan tata
cara pelaksanaan pembayaran uang paksa dan/atau sanksi administratif diatur
dengan peraturan perundang-undangan”. Kenyataan ini menggambarkan bahwa
Pemerintah setengah hati dalam menegakkan hukum di bidang Tata Usaha Negara.
Apabila Pemerintah berkeinginan kuat
untuk menegakkan Hukum Tata Usaha Negara ini sesuai dengan tujuannya untuk
menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban dan kepastian hukum, maka upaya
paksa berupa pembayaran uang paksa dan sanksi administratif ini perlu
diperjelas dan dipertegas tentang berapa besaran uang paksa yang wajar sesuai
jenis perkara, kerugian yang dialami Penggugat selama berperkara, dan yang
lebih penting lagi adalah besaran uang paksa tersebut memberikan efek jera
terhadap Pejabat Tata Usaha Negara yang melakukan pelanggaran terhadap aturan
perundang-undangan yang berlaku. Kemudian sanksi administratif yang akan
diberikan kepada Pejabat Tata Usaha Negara juga harus jelas dan tegas siapa
yang akan memberi sanksi dan jenis sanksinya. Sanksi administratif yang paling
memungkinkan untuk membuat jera Pejabat Tata Usaha Negara adalah pemberhentian
dari jabatan. Ancaman sanksi pemberhentian dari jabatan sebagai Pejabat Tata
Usaha Negara ini dipastikan akan membuat para Pejabat Tata Usaha Negara selalu
berhati-hati dalam menetapkan kebijakan dalam bentuk keputusan Tata Usaha
Negara yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Selanjutnya Pasal 116 ayat (6) yang
menyatakan bahwa “Di samping diumumkan pada media cetak setempat sebagaimana
dimaksud pada ayat (5), Ketua Pengadilan harus mengajukan hal ini kepada
Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi untuk memerintahkan
Pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan, dan kepada lembaga
perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan”, dalam pelaksanaannya
juga sangat sulit diterapkan dan menyita waktu yang cukup lama. Disamping
padatnya kegiatan Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, juga
terkadang Presiden juga melimpahkan kewenangan itu kepada para
Pembantu-pembantunya seperti Menteri Sekretaris Negara atau Menteri Dalam
Negeri, sehingga para Pejabat Tata Usaha Negara yang melakukan pelanggaran,
apalagi yang tipe dan karakter pribadinya memang senang melanggar dan tidak
patuh hukum memiliki ruang untuk tidak mematuhi perintah tersebut dengan alasan
undang-undang tidak mengatur demikian. Hal tersebut tentunya dapat menyebabkan
jatuhnya wibawa Presiden sebagai Pimpinan Tertinggi Pemerintahan di negeri ini.
Berdasarkan kendala dan tantangan
yang dihadapi PTUN dalam pelaksanaan eksekusi putusan PTUN yang telah
berkekuatan hukum tetap tersebut, dan dalam rangka meningkatkan supremasi hukum
Tata Usaha Negara, maka disarankan agar ketentuan yang diatur dalam Pasal 116
ayat (4) dan ayat (6) tersebut direvisi kembali dengan rumusan yang secara
lengkap berbunyi sebagai berikut :
(4) Dalam
hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan
upaya paksa berupa pembayaran uang paksa sebesar Rp1.000.000.000,00 (Satu
miliar rupiah) dan sanksi administratif berupa pemberhentian tidak dengan
hormat dari jabatannya.
(6) Di
samping diumumkan pada media cetak setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (5),
Ketua Pengadilan harus mengajukan hal ini kepada Menteri yang bertanggung jawab
di bidang Pendayagunaan Aparatur Negara untuk memberhentikan pejabat Tata Usaha
Negara yang bersangkutan dari jabatannya, dan kepada lembaga perwakilan
rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan.
Argumentasi yang mendasari
dimasukkannya kedua ayat tersebut untuk menguatkan pelaksanakan eksekusi
putusan PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut adalah bahwa ayat (4)
Pasal 116 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 yang berbunyi “Dalam hal tergugat
tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa
pembayaran sejumlah uang paksa dan atau sanksi administratif”, sangat tidak
tegas dan membuat PTUN kesulitan dalam pelaksanaannya. Akibatnya adalah para
pencari keadilan tidak memperoleh kepastian hukum.
Sedangkan untuk ayat (6) yang
berbunyi “Di samping diumumkan pada media cetak setempat sebagaimana dimaksud
pada ayat (5), Ketua Pengadilan harus mengajukan hal ini kepada Presiden
sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi untuk memerintahkan Pejabat
tersebut melaksanakan putusan pengadilan, dan kepada lembaga perwakilan
rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan”, ini sangat membebani tugas-tugas
Presiden sebagai Kepala Pemerintahan sehingga untuk mengefektifkan
pelaksanaannya diberikan kepada lembaga negara pembantu Presiden yang bertugas
dan berwenang dalam pendayagunaan aparatur negara yaitu Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
Dengan merevisi Pasal 116 ayat (4)
dan ayat (6) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tersebut dengan memasukkan
rumusan kedua ayat yang dikemukakan di atas, maka Pejabat Tata Usaha Negara
akan berhati-hati dalam menetapkan keputusan Tata Usaha Negara yang melanggar
peraturan perundang-undangan dan merugikan pihak lain, baik lembaga maupun
anggota masyarakat secara perorangan.
Berbagai contoh betapa kesulitannya
PTUN dalam melaksanakan putusan PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap yang
menjadi mendasari penulisan ini sebagai berikut :
1. Camat Cimanggis, Kota Depok, Jawa Barat, Agus Gunanto
yang tidak mematuhi Putusan PTUN Bandung yang dikuatkan dengan Putusan
Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung Nomor : 41 PK/TUN/1999 tentang Kasus
Pembatalan atas Surat Pelepasan Hak (SPH) atas Tanah yang diklaim milik
Pengembang Perumahan Elit Raflesia Hills, Cibubur yang dimenangkan oleh
Penggugat Tumbur Manaor Tampubolon, dkk, (Republika Online, Rabu 15 April 2009
“Camat Cimanggis Diadukan ke Presiden dan KPK).
2. Rektor Universitas Sam Ratulangi Manado, Prof Dr
Donald Rumokoy, SH, MH, tidak mematuhi Putusan PTUN yang telah berkekuatan
hukum tetap yang memenangkan Dr. Ir Julius Pontoh sebagai Dekan FMIPA Unsrat
dan Ir. Boyke Rorinpandey, M.Si sebagai Ketua Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas
Peternakan Unsrat, padahal telah mendapat perintah eksekusi dari Menteri
Sekretaris Negara sebanyak dua kali (Antara News, Rabu 23 Mei 2012 “Rektor
Unsrat Abaikan Putusan PTUN dan Sudi Silalahi).
3. Bupati Kepulauan Selayar Provinsi Sulawesi Selatan, H.
Syahrir Wahab tidak mematuhi putusan PTUN Makassar Nomor :
58/G.TUN/2010/P.TUN.Mks yang telah berkekuatan hukum tetap dalam sengketa
kepegawaian yang dimenangkan oleh Drs. Muh. Arsad, MM Kepala Badan Kepegawaian
Daerah Kabupaten Kepulauan Selayar, sehingga yang bersangkutan dilapor oleh
Ketua PTUN Makassar ke Presiden, Ketua DPR RI, Ketua DPRD Provinsi Sulawesi
Selatan dan Ketua DPRD Kepulauan Selayar (Koran Tempo Makassar, Senin 28
Januari 2013 “PTUN Laporkan Bupati Selayar ke Presiden).
Ketiga contoh kasus tersebut di atas
merupakan fakta nyata tentang kesulitan yang dialami oleh PTUN sebagai lembaga
peradilan Tata Usaha Negara dalam menegakkan keadilan dan memberikan kepastian
hukum kepada masyarakat pencari keadilan. Oleh karena itu, dalam rangka
peningkatan wibawa penegakan hukum Tata Usaha Negara dimata para Pejabat Tata
Usaha Negara yang memiliki kesadaran hukum yang masih rendah dan mengandalkan
serta mengedepankan pendekatan kekuasaan dalam menjalankan tugas, kewajiban dan
tanggung jawabnya, maka revisi terhadap aturan tentang pelaksanaan putusan PTUN
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, merupakan agenda mendesak bagi
Pemerintah untuk dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional.
Semoga bermanfaat dalam rangka
penegakan supremasi hukum.
Selayar, 24 Juni 2013
Muh. Arsad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar