Minggu, 04 Agustus 2013

Penguatan Pelaksanaan Eksekusi Putusan PTUN



Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) dibentuk untuk menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban dan kepastian hukum, sehingga dapat memberikan pengayoman kepada masyarakat, khususnya dalam hubungan antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan masyarakat. PERATUN diharapkan dapat menyelesaikan Sengketa Tata Usaha Negara yaitu sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di Pusat maupun di Daerah, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Demikian pengertian yang diuraikan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Perjalanan pelaksanaan Undang-Undang PERATUN ini sejak diundangkan pada tanggal 29 Desember 1986, telah mengalami dua kali perubahan, yaitu dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Hal yang sangat krusial dan nampaknya belum mampu memenuhi rasa keadilan masyarakat pencari keadilan adalah ketentuan mengenai pelaksanaan eksekusi terhadap putusan PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap. 


Ketentuan pelaksanaan eksekusi terhadap putuasan PTUN yang telah berkekuatan hukum tersebut diatur dalam Pasal 116 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 dan mengalami perubahan, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009. Secara lengkap bunyi Pasal 116 tersebut adalah sebagai berikut :
(1)  Salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu 14(empat) belas hari kerja.
(2)  Apabila setelah 60(enam puluh) hari kerja putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
(3) Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf c, dan kemudian setelah 90(sembilan puluh) hari kerja ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), agar pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut.
(4) Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan atau sanksi administratif.
(5)  Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat oleh Panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(6) Di samping diumumkan pada media cetak setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Ketua Pengadilan harus mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi untuk memerintahkan Pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan, dan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan.
(7) Ketentuan mengenai besaran uang paksa, jenis sanksi administratif, dan tata cara pelaksanaan pembayaran uang paksa dan/atau sanksi administratif diatur dengan peraturan perundang-undangan.


Ketentuan pelaksanaan eksekusi putusan PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut secara tersurat nampaknya sudah sangat menjanjikan akan mampu memberikan kepastian hukum para pencari keadilan. Tetapi dalam prakteknya penerapan Pasal 116 tersebut, khususnya ayat (4) dan ayat (6) oleh PTUN masih sangat jauh dari harapan.
Pasal 116 ayat (4) yang menyatakan bahwa “Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan atau sanksi administratif”, aturan pelaksanaanya belum ada sampai saat ini baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah maupun peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, padahal ayat (7) Pasal 116 Undang-Undang ini telah mengamanahkan bahwa “Ketentuan mengenai besaran uang paksa, jenis sanksi administratif, dan tata cara pelaksanaan pembayaran uang paksa dan/atau sanksi administratif diatur dengan peraturan perundang-undangan”. Kenyataan ini menggambarkan bahwa Pemerintah setengah hati dalam menegakkan hukum di bidang Tata Usaha Negara.
Apabila Pemerintah berkeinginan kuat untuk menegakkan Hukum Tata Usaha Negara ini sesuai dengan tujuannya untuk menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban dan kepastian hukum, maka upaya paksa berupa pembayaran uang paksa dan sanksi administratif ini perlu diperjelas dan dipertegas tentang berapa besaran uang paksa yang wajar sesuai jenis perkara, kerugian yang dialami Penggugat selama berperkara, dan yang lebih penting lagi adalah besaran uang paksa tersebut memberikan efek jera terhadap Pejabat Tata Usaha Negara yang melakukan pelanggaran terhadap aturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian sanksi administratif yang akan diberikan kepada Pejabat Tata Usaha Negara juga harus jelas dan tegas siapa yang akan memberi sanksi dan jenis sanksinya. Sanksi administratif yang paling memungkinkan untuk membuat jera Pejabat Tata Usaha Negara adalah pemberhentian dari jabatan. Ancaman sanksi pemberhentian dari jabatan sebagai Pejabat Tata Usaha Negara ini dipastikan akan membuat para Pejabat Tata Usaha Negara selalu berhati-hati dalam menetapkan kebijakan dalam bentuk keputusan Tata Usaha Negara yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selanjutnya Pasal 116 ayat (6) yang menyatakan bahwa “Di samping diumumkan pada media cetak setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Ketua Pengadilan harus mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi untuk memerintahkan Pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan, dan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan”, dalam pelaksanaannya juga sangat sulit diterapkan dan menyita waktu yang cukup lama. Disamping padatnya kegiatan Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, juga terkadang Presiden juga melimpahkan kewenangan itu kepada para Pembantu-pembantunya seperti Menteri Sekretaris Negara atau Menteri Dalam Negeri, sehingga para Pejabat Tata Usaha Negara yang melakukan pelanggaran, apalagi yang tipe dan karakter pribadinya memang senang melanggar dan tidak patuh hukum memiliki ruang untuk tidak mematuhi perintah tersebut dengan alasan undang-undang tidak mengatur demikian. Hal tersebut tentunya dapat menyebabkan jatuhnya wibawa Presiden sebagai Pimpinan Tertinggi Pemerintahan di negeri ini.
Berdasarkan kendala dan tantangan yang dihadapi PTUN dalam pelaksanaan eksekusi putusan PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut, dan dalam rangka meningkatkan supremasi hukum Tata Usaha Negara, maka disarankan agar ketentuan yang diatur dalam Pasal 116 ayat (4) dan ayat (6) tersebut direvisi kembali dengan rumusan yang secara lengkap berbunyi sebagai berikut :

(4) Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran uang paksa sebesar Rp1.000.000.000,00 (Satu miliar rupiah) dan sanksi administratif berupa pemberhentian tidak dengan hormat dari jabatannya.
(6) Di samping diumumkan pada media cetak setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Ketua Pengadilan harus mengajukan hal ini kepada Menteri yang bertanggung jawab di bidang Pendayagunaan Aparatur Negara untuk memberhentikan pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dari jabatannya, dan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan.
Argumentasi yang mendasari dimasukkannya kedua ayat tersebut untuk menguatkan pelaksanakan eksekusi putusan PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut adalah bahwa ayat (4) Pasal 116 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 yang berbunyi “Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan atau sanksi administratif”, sangat tidak tegas dan membuat PTUN kesulitan dalam pelaksanaannya. Akibatnya adalah para pencari keadilan tidak memperoleh kepastian hukum.
Sedangkan untuk ayat (6) yang berbunyi “Di samping diumumkan pada media cetak setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Ketua Pengadilan harus mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi untuk memerintahkan Pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan, dan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan”, ini sangat membebani tugas-tugas Presiden sebagai Kepala Pemerintahan sehingga untuk mengefektifkan pelaksanaannya diberikan kepada lembaga negara pembantu Presiden yang bertugas dan berwenang dalam pendayagunaan aparatur negara yaitu Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
Dengan merevisi Pasal 116 ayat (4) dan ayat (6) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tersebut dengan memasukkan rumusan kedua ayat yang dikemukakan di atas, maka Pejabat Tata Usaha Negara akan berhati-hati dalam menetapkan keputusan Tata Usaha Negara yang melanggar peraturan perundang-undangan dan merugikan pihak lain, baik lembaga maupun anggota masyarakat secara perorangan.
Berbagai contoh betapa kesulitannya PTUN dalam melaksanakan putusan PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap yang menjadi mendasari penulisan ini sebagai berikut :
1. Camat Cimanggis, Kota Depok, Jawa Barat, Agus Gunanto yang tidak mematuhi Putusan PTUN Bandung yang dikuatkan dengan Putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung Nomor : 41 PK/TUN/1999 tentang Kasus Pembatalan atas Surat Pelepasan Hak (SPH) atas Tanah yang diklaim milik Pengembang Perumahan Elit Raflesia Hills, Cibubur yang dimenangkan oleh Penggugat Tumbur Manaor Tampubolon, dkk, (Republika Online, Rabu 15 April 2009 “Camat Cimanggis Diadukan ke Presiden dan KPK).
2. Rektor Universitas Sam Ratulangi Manado, Prof Dr Donald Rumokoy, SH, MH, tidak mematuhi Putusan PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap yang memenangkan Dr. Ir Julius Pontoh sebagai Dekan FMIPA Unsrat dan Ir. Boyke Rorinpandey, M.Si sebagai Ketua Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Peternakan Unsrat, padahal telah mendapat perintah eksekusi dari Menteri Sekretaris Negara sebanyak dua kali (Antara News, Rabu 23 Mei 2012 “Rektor Unsrat Abaikan Putusan PTUN dan Sudi Silalahi).
3. Bupati Kepulauan Selayar Provinsi Sulawesi Selatan, H. Syahrir Wahab tidak mematuhi putusan PTUN Makassar Nomor : 58/G.TUN/2010/P.TUN.Mks yang telah berkekuatan hukum tetap dalam sengketa kepegawaian yang dimenangkan oleh Drs. Muh. Arsad, MM Kepala Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Kepulauan Selayar, sehingga yang bersangkutan dilapor oleh Ketua PTUN Makassar ke Presiden, Ketua DPR RI, Ketua DPRD Provinsi Sulawesi Selatan dan Ketua DPRD Kepulauan Selayar (Koran Tempo Makassar, Senin 28 Januari 2013 “PTUN Laporkan Bupati Selayar ke Presiden).
Ketiga contoh kasus tersebut di atas merupakan fakta nyata tentang kesulitan yang dialami oleh PTUN sebagai lembaga peradilan Tata Usaha Negara dalam menegakkan keadilan dan memberikan kepastian hukum kepada masyarakat pencari keadilan. Oleh karena itu, dalam rangka peningkatan wibawa penegakan hukum Tata Usaha Negara dimata para Pejabat Tata Usaha Negara yang memiliki kesadaran hukum yang masih rendah dan mengandalkan serta mengedepankan pendekatan kekuasaan dalam menjalankan tugas, kewajiban dan tanggung jawabnya, maka revisi terhadap aturan tentang pelaksanaan putusan PTUN yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, merupakan agenda mendesak bagi Pemerintah untuk dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional.
Semoga bermanfaat dalam rangka penegakan supremasi hukum.
Selayar, 24 Juni 2013
Muh. Arsad


 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar