Selasa, 30 Juli 2013

Renungan Tentang Rumah Dinas PNS dan TNI/POLRI


Ada hal yang menarik ketika saya membaca biografi seorang Ben Mboi, putra Manggarai yang sempat menjadi Gubernur NTT pada tahun 1978-1988. Jendral merangkap dokter yang sukses menjalani pernikahan beda agama dengan Ibu Nafsiah Walinono yang asli Sulawesi Selatan ini rupanya sempat merasakan pepatah “habis manis sepah dibuang” ketika pada tahun 2004 diminta untuk mengosongkan rumah dinasnya di Komplek TNI AD Gatot Subroto Jakarta Selatan karena lokasi tersebut akan dijadikan parking lot. Rumah dinas yang dihuninya sejak tahun 1975 itu dengan berat hati harus beliau tinggalkan setelah memperoleh perlakuan yang tidak manusiawi dari almamaternya sendiri, antara lain truk sampah dari Dinas Kebersihan DKI tidak diperbolehkan mengangkut sampah dari rumahnya selama dua bulan terakhir, jalan masuk komplek diblokir dan dibulldozer, sampai pada tahap dimana seorang kopral CPM mengacung-acungkan kantong keresek berisikan sejumlah uang sebagai biaya ganti rugi.

Pak Ben Mboi cukup beruntung karena keluarga Martha Tilaar bersimpati kepadanya dengan meminjamkan rumahnya di daerah Cipete Jakarta Selatan sampai akhirnya beliau mampu membeli rumah sendiri. Bayangkan setelah 43 tahun mengabdi untuk negara dengan pengorbanan yang tidak sedikit bahkan nyaris kehilangan nyawa saat Operasi Trikora, 10 tahun diantaranya menjabat gubernur, tetapi rumah saja tidak punya.


Peristiwa yang kurang lebih sama juga pernah menimpa seseorang yang bertempat tinggal di Komplek Paskhas TNI AU Sukasari Bogor yang berdampingan dengan Komplek Brimob, Pusdikzi dan Paspampres. Menjelang kejatuhan Pak Harto, tepatnya pada tahun 1997 putri sulungnya Mbak Tutut nyaris berhasil menggusur seluruh penghuni komplek yang tadinya berfungsi sebagai Asrama Batalyon Kawal Kehormatan Resimen Tjakrabirawa (Paspampresnya Bung Karno) yang bertanggungjawab mengamankan Istana Bogor, Istana Cipanas dan Istana Tampaksiring Bali. Waktu itu seluruh warganya yang mayoritas purnawirawan TNI AU beserta keluarganya telah siap untuk melakukan perlawanan apabila Mbak Tutut jadi mengeksekusi tempat tinggal mereka. Mereka merasa jasa-jasanya dalam merebut Irian Barat (Operasi Trikora), konfrontasi dengan Malaysia (Operasi Dwikora) dan invasi ke Timor Timur (Operasi Seroja) dilupakan begitu saja oleh negara sementara mereka di hari tuanya tidak memiliki cukup uang untuk membeli rumah sendiri. Beliau sendiri terlihat cukup tenang, sepertinya nothing to loose karena sudah memiliki rumah sendiri. Beliau hanya berkata : “kalau mau digusur ya monggo saja, itu bukan rumah saya tetapi milik negara, hanya tolong perhatikan nasib mantan anak buah saya yang belum memiliki rumah sendiri”.



Pemerintah sebenarnya telah mengeluarkan peraturan yang baku tentang rumah dinas, yaitu Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 138/PMK.06/2010 tentang pengelolaan barang milik negara berupa rumah dinas. Berdasarkan PMK itu, terdapat tiga golongan rumah negara, yaitu : rumah negara golongan I adalah rumah negara yang dipergunakan bagi pemegang jabatan tertentu dan karena sifat jabatannya harus bertempat tinggal di rumah tersebut serta hak penghuniannya terbatas selama pejabat yang bersangkutan masih memegang jabatan tertentu tersebut. Rumah negara golongan II adalah rumah negara yang mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan dari suatu instansi dan hanya disediakan untuk didiami oleh pegawai negeri dan apabila telah berhenti atau pensiun rumah dikembalikan kepada negara. Rumah negara golongan III adalah rumah negara yang tidak termasuk golongan I dan golongan II yang dapat dijual kepada penghuninya dengan menerima penggantian dalam bentuk uang yang dilakukan dalam bentuk pengalihan hak rumah negara. Rumah dinas PNS/TNI/POLRI pada umumnya masuk ke dalam golongan II yang mengharuskan penghuninya untuk mengembalikan kepada negara apabila yang bersangkutan telah pensiun.


Nasib TNI dengan rumah dinasnya setali tiga uang dengan PNS. Banyak diantara mereka yang hingga pensiun belum memiliki tempat tinggal sendiri. Lepas dari telah adanya peraturan yang mengatur mengenai penggunaan rumah dinas, saya beranggapan bahwa bukanlah hal yang berlebihan bila idealnya negara harusnya membantu menyediakan rumah bagi seluruh abdinya yang disesuaikan dengan pangkat dan golongan yang bersangkutan. Sayangnya kondisi ideal tersebut masih belum mampu dipenuhi oleh negara sehingga kesan “mendzalimi” sering timbul di kemudian hari apabila negara berniat mengambil alih rumah dinas tersebut atau bila kita menjumpai kenyataan abdi negara yang berjasa tetapi belum memiliki rumah hingga pensiun bahkan akhir hayatnya. Hal-hal seperti itulah yang potensial membentuk karakter abdi negara yang apatis dan oportunis seperti mantan pegawai Ditjen Pajak GT dan DW. Mental korup (greed) mereka merupakan warisan dari para seniornya yang berawal dari need yang tidak kunjung dipenuhi oleh negara, ditambah dengan pola pikir yang itu-itu saja dan tidak ada terobosan berarti untuk mensejahterakan diri dengan cara yang halal.


PNS (saat ini) pada umumnya harus memiliki “jiwa nekad” dan tidak terlalu banyak memilih dalam memiliki rumah sendiri karena asumsinya negara tidak akan pernah menyediakannya untuk kita. Jangan berpikir terlalu lama untuk “mengeksekusi” rumah/tanah selama lokasinya baik dan harganya sesuai kemampuan kita. Dengan gaji yang pas-pasan kita harus cukup tahu diri bahwa hampir mustahil untuk memiliki rumah di lokasi ideal dengan kualitas bahan bangunan tinggi kecuali ada keajaiban dan factor luck-nya tinggi. Kita juga harus menyadari bahwa harga properti akan semakin meningkat dan sulit terkejar oleh standar gaji abdi negara, sekalipun ada peningkatan kesejahteraan dalam bentuk remunerasi. Membeli rumah itu masalah “jodoh” koq, kalau momentumnya pas, Tuhan biasanya berbaik hati memilihkan kita rumah di lokasi “sedang” dengan harga yang terjangkau. Disaat masih aktif berdinas dan sehat, sedini mungkin sisihkan sebagian (bahkan mungkin sebagian besar) pendapatan kita untuk mencicil rumah karena sektor perbankan pada umumnya sangat mempercayai PNS sebagai debitur. Banyak PNS/POLRI/TNI mengalami hal seperti itu dimana gaji bulanan dikorbankan untuk mencicil rumah. Meskipun berat, tapi  menganggap itu harga yang pantas bagi seorang PNS dalam berjuang memiliki rumah sendiri. Soal bagaimana mencukupi kebutuhan hidup bulanan, sebagai PNS Alhamdulillah ada saja penghasilan yang sah menurut ketentuan yang berlaku yang bila kita kelola dengan baik masih cukup untuk menghidupi keluarga. Kurangi pergi ke mal dan tempat-tempat lain yang berpotensi menghabiskan uang kita untuk hal-hal yang kurang bermanfaat atas nama gengsi, kegemaran menggunakan barang bermerk, motto work hard play harder, dan seterusnya.


Prihatin untuk membeli rumah (menurut saya) masih lebih baik daripada terlena membeli barang-barang konsumtif yang nilainya semakin menurun dan tidak memiliki manfaat jangka panjang……. Namun jika direnungkan sangguplah kita dengan biaya pendidikan anak-anak yang semakin lama semakin tidak terjangkau ini ? jika tidak tentu solusi terakhir terpaksa menggunakan kredit bank : guna memenuhi kebutuhan beaya formal/informal pendidikan anak, antara lain transportasi (motor), uang saku, buku-buku, beaya kost (jika lokasi jaruh dari rumah). Berdasarkan Undang-undang Dasar sesuai dengan Pasal 31 ayat 1 dan 2 Undang Undang Dasar 1945 dalam perubahannya ke empat, tertulis dan tercantum bahwa Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Ini membuktikan bahwa tanggung jawab pemerintah atau negara sangatlah besar, karena mereka pun bertanggung jawab atas kemajuan bangsa ini.


Nasib dan kemampuan dasar seseorang tidaklah sama, pondasi lingkungan keluarga sebelumnya ikut mengukir perjalanan kehidupan rumah tangga anak berikutnya : harta, benda, tahta, waris, konkretnya bantuan kemampuan financial yang tersedia  tidak mereka miliki sebelumnya. Kesulitan kebutuhan hidup 30 tahun yang lalu sangatlah jauh berbeda jika dibandingkan sekarang dari sudut kemudahan-kemudahan : pinjam-meminjam dahulu hanya dapat melalui rentenir (12an = pinjam 1 juta dalam tempo 1 bulan harus kembali Rp. 1,2 juta), sekarang hampir semua bank menawarkan dengan plafon yang cukup menggiurkan, bahkan  dari bank yang yang satu dengan yang lain juga menawarkan produk baru yang dikenal dengan istilah “take over”. Jika kemudahan ini sudah ada di era 30 tahunan yang lalu tentu permasalahan rumah dinas/rumah negara PNS/TNI/POLRI/BUMN tidaklah terkondisi seperti sekarang ini. Kami berharap semoga tulisan ini bermanfaat sebagai bahan renungan dan kajian terutama bagi para penguasa/pejabat berwenang dalam mengambil keputusan masalah sengketa rumah dinas/negara secara bijak dan manusiawi.

Sumber : Pasal 31 ayat 1 dan 2 UUD 1945

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar