Ada hal yang menarik ketika saya membaca biografi seorang Ben Mboi,
putra Manggarai yang sempat menjadi Gubernur NTT pada tahun 1978-1988. Jendral
merangkap dokter yang sukses menjalani pernikahan beda agama dengan Ibu Nafsiah
Walinono yang asli Sulawesi Selatan ini rupanya sempat merasakan pepatah “habis
manis sepah dibuang” ketika pada tahun 2004 diminta untuk mengosongkan rumah
dinasnya di Komplek TNI AD Gatot Subroto Jakarta Selatan karena lokasi tersebut
akan dijadikan parking lot. Rumah dinas yang dihuninya sejak tahun 1975 itu
dengan berat hati harus beliau tinggalkan setelah memperoleh perlakuan yang
tidak manusiawi dari almamaternya sendiri, antara lain truk sampah dari Dinas
Kebersihan DKI tidak diperbolehkan mengangkut sampah dari rumahnya selama dua
bulan terakhir, jalan masuk komplek diblokir dan dibulldozer, sampai pada tahap
dimana seorang kopral CPM mengacung-acungkan kantong keresek berisikan sejumlah
uang sebagai biaya ganti rugi.
Pak Ben Mboi cukup beruntung karena keluarga
Martha Tilaar bersimpati kepadanya dengan meminjamkan rumahnya di daerah Cipete
Jakarta Selatan sampai akhirnya beliau mampu membeli rumah sendiri. Bayangkan
setelah 43 tahun mengabdi untuk negara dengan pengorbanan yang tidak sedikit
bahkan nyaris kehilangan nyawa saat Operasi Trikora, 10 tahun diantaranya
menjabat gubernur, tetapi rumah saja tidak punya.
Peristiwa yang kurang lebih sama juga pernah
menimpa seseorang yang bertempat tinggal di Komplek Paskhas TNI AU Sukasari
Bogor yang berdampingan dengan Komplek Brimob, Pusdikzi dan Paspampres.
Menjelang kejatuhan Pak Harto, tepatnya pada tahun 1997 putri sulungnya Mbak
Tutut nyaris berhasil menggusur seluruh penghuni komplek yang tadinya berfungsi
sebagai Asrama Batalyon Kawal Kehormatan Resimen Tjakrabirawa (Paspampresnya
Bung Karno) yang bertanggungjawab mengamankan Istana Bogor, Istana Cipanas dan
Istana Tampaksiring Bali. Waktu itu seluruh warganya yang mayoritas
purnawirawan TNI AU beserta keluarganya telah siap untuk melakukan perlawanan
apabila Mbak Tutut jadi mengeksekusi tempat tinggal mereka. Mereka merasa
jasa-jasanya dalam merebut Irian Barat (Operasi Trikora), konfrontasi dengan
Malaysia (Operasi Dwikora) dan invasi ke Timor Timur (Operasi Seroja) dilupakan
begitu saja oleh negara sementara mereka di hari tuanya tidak memiliki cukup
uang untuk membeli rumah sendiri. Beliau sendiri terlihat cukup tenang, sepertinya
nothing to loose karena sudah memiliki rumah sendiri. Beliau hanya berkata :
“kalau mau digusur ya monggo saja, itu bukan rumah saya tetapi milik negara,
hanya tolong perhatikan nasib mantan anak buah saya yang belum memiliki rumah
sendiri”.
Pemerintah sebenarnya telah mengeluarkan
peraturan yang baku tentang rumah dinas, yaitu Peraturan Menteri Keuangan (PMK)
Nomor 138/PMK.06/2010 tentang pengelolaan barang milik negara berupa rumah
dinas. Berdasarkan PMK itu, terdapat tiga golongan rumah negara, yaitu : rumah
negara golongan I adalah rumah negara yang dipergunakan bagi pemegang jabatan
tertentu dan karena sifat jabatannya harus bertempat tinggal di rumah tersebut
serta hak penghuniannya terbatas selama pejabat yang bersangkutan masih
memegang jabatan tertentu tersebut. Rumah negara golongan II adalah rumah
negara yang mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan dari suatu instansi
dan hanya disediakan untuk didiami oleh pegawai negeri dan apabila telah
berhenti atau pensiun rumah dikembalikan kepada negara. Rumah negara golongan
III adalah rumah negara yang tidak termasuk golongan I dan golongan II yang
dapat dijual kepada penghuninya dengan menerima penggantian dalam bentuk uang
yang dilakukan dalam bentuk pengalihan hak rumah negara. Rumah dinas
PNS/TNI/POLRI pada umumnya masuk ke dalam golongan II yang mengharuskan
penghuninya untuk mengembalikan kepada negara apabila yang bersangkutan telah
pensiun.
Nasib TNI dengan rumah dinasnya setali tiga uang
dengan PNS. Banyak diantara mereka yang hingga pensiun belum memiliki tempat
tinggal sendiri. Lepas dari telah adanya peraturan yang mengatur mengenai
penggunaan rumah dinas, saya beranggapan bahwa bukanlah hal yang
berlebihan bila idealnya negara harusnya membantu menyediakan rumah bagi
seluruh abdinya yang disesuaikan dengan pangkat dan golongan yang bersangkutan.
Sayangnya kondisi ideal tersebut masih belum mampu dipenuhi oleh negara
sehingga kesan “mendzalimi” sering timbul di kemudian hari apabila negara
berniat mengambil alih rumah dinas tersebut atau bila kita menjumpai kenyataan
abdi negara yang berjasa tetapi belum memiliki rumah hingga pensiun bahkan
akhir hayatnya. Hal-hal seperti itulah yang potensial membentuk karakter abdi
negara yang apatis dan oportunis seperti mantan pegawai Ditjen Pajak GT dan DW.
Mental korup (greed) mereka merupakan warisan dari para seniornya yang berawal
dari need yang tidak kunjung dipenuhi oleh negara, ditambah dengan pola pikir
yang itu-itu saja dan tidak ada terobosan berarti untuk mensejahterakan diri
dengan cara yang halal.
PNS (saat ini) pada umumnya harus memiliki “jiwa
nekad” dan tidak terlalu banyak memilih dalam memiliki rumah sendiri karena
asumsinya negara tidak akan pernah menyediakannya untuk kita. Jangan berpikir
terlalu lama untuk “mengeksekusi” rumah/tanah selama lokasinya baik dan
harganya sesuai kemampuan kita. Dengan gaji yang pas-pasan kita harus cukup
tahu diri bahwa hampir mustahil untuk memiliki rumah di lokasi ideal dengan
kualitas bahan bangunan tinggi kecuali ada keajaiban dan factor luck-nya
tinggi. Kita juga harus menyadari bahwa harga properti akan semakin meningkat
dan sulit terkejar oleh standar gaji abdi negara, sekalipun ada peningkatan
kesejahteraan dalam bentuk remunerasi. Membeli rumah itu masalah “jodoh” koq,
kalau momentumnya pas, Tuhan biasanya berbaik hati memilihkan kita rumah di
lokasi “sedang” dengan harga yang terjangkau. Disaat masih aktif berdinas dan
sehat, sedini mungkin sisihkan sebagian (bahkan mungkin sebagian besar)
pendapatan kita untuk mencicil rumah karena sektor perbankan pada umumnya
sangat mempercayai PNS sebagai debitur. Banyak PNS/POLRI/TNI mengalami hal
seperti itu dimana gaji bulanan dikorbankan untuk mencicil rumah.
Meskipun berat, tapi menganggap itu harga yang pantas bagi seorang PNS
dalam berjuang memiliki rumah sendiri. Soal bagaimana mencukupi kebutuhan hidup
bulanan, sebagai PNS Alhamdulillah ada saja penghasilan yang sah menurut
ketentuan yang berlaku yang bila kita kelola dengan baik masih cukup untuk
menghidupi keluarga. Kurangi pergi ke mal dan tempat-tempat lain yang
berpotensi menghabiskan uang kita untuk hal-hal yang kurang bermanfaat atas nama
gengsi, kegemaran menggunakan barang bermerk, motto work hard play harder, dan
seterusnya.
Prihatin untuk membeli rumah (menurut saya) masih
lebih baik daripada terlena membeli barang-barang konsumtif yang nilainya
semakin menurun dan tidak memiliki manfaat jangka panjang……. Namun jika
direnungkan sangguplah kita dengan biaya pendidikan anak-anak yang semakin lama
semakin tidak terjangkau ini ? jika tidak tentu solusi terakhir terpaksa menggunakan
kredit bank : guna memenuhi kebutuhan beaya formal/informal pendidikan anak, antara lain
transportasi (motor), uang saku, buku-buku, beaya kost (jika lokasi jaruh dari rumah).
Berdasarkan Undang-undang Dasar sesuai dengan Pasal 31
ayat 1 dan 2 Undang Undang Dasar 1945 dalam perubahannya ke empat, tertulis dan
tercantum bahwa Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan setiap warga
negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Ini
membuktikan bahwa tanggung jawab pemerintah atau negara sangatlah besar, karena
mereka pun bertanggung jawab atas kemajuan bangsa ini.
Nasib dan kemampuan dasar seseorang
tidaklah sama, pondasi lingkungan keluarga sebelumnya ikut mengukir perjalanan
kehidupan rumah tangga anak berikutnya : harta, benda, tahta, waris, konkretnya
bantuan kemampuan financial yang tersedia tidak mereka miliki sebelumnya. Kesulitan
kebutuhan hidup 30 tahun yang lalu sangatlah jauh berbeda jika dibandingkan
sekarang dari sudut kemudahan-kemudahan : pinjam-meminjam dahulu hanya dapat melalui
rentenir (12an = pinjam 1 juta dalam tempo 1 bulan harus kembali Rp. 1,2 juta),
sekarang hampir semua bank menawarkan dengan plafon yang cukup menggiurkan,
bahkan dari bank yang yang satu dengan
yang lain juga menawarkan produk baru yang dikenal dengan istilah “take over”.
Jika kemudahan ini sudah ada di era 30 tahunan yang lalu tentu permasalahan
rumah dinas/rumah negara PNS/TNI/POLRI/BUMN tidaklah terkondisi seperti
sekarang ini. Kami berharap semoga tulisan ini bermanfaat sebagai bahan
renungan dan kajian terutama bagi para penguasa/pejabat berwenang dalam mengambil
keputusan masalah sengketa rumah dinas/negara secara bijak dan manusiawi.
Sumber : Pasal 31 ayat 1 dan 2 UUD 1945
Tidak ada komentar:
Posting Komentar