Jika
negara melanggar fungsi sosial tanah, penghuni bisa memanfaatkan tanah
tersebut.
Masalah penggusuran
rumah dinas pensiunan Purnawirawan Tentara Nasional Indonesia (TNI) tengah
marak terjadi. Kasus seperti ini bukan perkara baru di Indonesia. Bukan hanya
purnawirawan TNI yang ‘diusir’ dari bekas rumah dinasnya, tapi juga pensiunan
PNS kerap menjadi korban pengusiran. Beberapa waktu lalu, pengusiran penghuni
rumah dinas Ditjen Pajak di kawasan Kemanggisan, Jakarta Barat, bahkan menuai
gugatan ke pengadilan. Ironisnya, kekerasan kadang tak terhidarkan dalam pengusiran
tersebut.
Baru-baru ini sengketa rumah dinas TNI pun
terjadi. Di Semarang misalnya, para mantan purnawirawan beserta sanak
saudaranya, melakukan unjuk rasa penolakan penggusuran rumah dinas yang sudah
puluhan tahun ditempatinya. Apa sebenarnya yang terjadi? Mengapa hal ini tidak
pernah tuntas dan kerap terulang?
Tentu saja, hal ini merupakan masalah
hukum. Menurut Hasni, Dosen Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Trisakti,
dalam hukum agraria nasional dikenal suatu azas, di mana penguasaan penggunaan
tanah oleh siapapun, untuk keperluan apapun harus ada landasan haknya. Jika
seseorang menguasai tanah tanpa landasan hak, artinya penguasaannya ilegal dan
dapat dikenakan sanksi tiga bulan kurungan. Hal ini sesuai dengan Perpu No. 51
Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin yang Berhak atau
Kuasanya.
Di Indonesia sendiri tanah terbagi atas dua
golongan. Pertama, tanah negara yaitu tanah yang secara yuridis masih
kosong dan belum ada hubungan hukum dengan perorangan. Artinya langsung
dikuasai dan dikelolah oleh negara sebagai badan penguasa. Kedua, tanah
yang memiliki hubungan hukum dengan orang pribadi atau badan hukum, atau yang
sering kali disebut tanah hak.
Terkait dengan kasus penggusuran
rumah dinas purnawirawan dan keturunannya, para TNI diberikan izin untuk
menempati rumah dinas karena jasanya kepada negara. Namun yang perlu
diperhatikan adalah rumah dinas bukan hak, tetapi hanya izin. Izin artinya
boleh menggunakan kebendaan orang lain atas adanya suatu keputusan. Izin tidak
bisa diwariskan karena ia bukan hak.“Kalau diizinkan, berarti izin itu pada
yang bersangkutan, bukan kepada keturunan,” ujar Hasni kepada hukumonline.
Berdasarkan PP No. 31 Tahun 2005 tentang
Rumah Negara, rumah negara terdiri dari tiga golongan. Rumah negara golongan I
diperuntukkan bagi pejabat tertentu yang karena sifat jabatannya harus tinggal
dirumah tersebut selama masa jabatannya. Golongan II adalah rumah negara yang
tidak dapat dipisahkan dari satu instansi tertentu dan hanya disediakan kepada
pegawai negeri. Apabila ia sudah berhenti, maka rumah negara tersebut harus
dikembalikan kepada negara. Sedangkan untuk golongan III adalah rumah negara
yang tak dapat dialihkan haknya.
Namun, perlu diketahui bahwa hukum
agraria menganut hukum adat dan mengenal azas pemisahan horizontal. Artinya,
hukum yang berlaku atas tanah belum tentu berlaku terhadap bangunan dan tanaman
di atasnya. Memang asas pemisahan horizontal ini tidak diatur secara tegas
dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), tapi bisa
ditafsirkan melalui Pasal 35 UUPA. “Jika pemerintah yang membangun rumah
tersebut, maka dimungkinkan terjadinya peralihan hak. Namun, tanah terpisah
dari bangunannya,” tambah Hasni.
Fungsi Sosial
Satu hal yang juga menjadi karakteristik
dari hukum agraria adalah tanah berfungsi sosial. Fungsi sosial ini diatur
dalam Pasal 6 UUPA. Menurut Hasni, fungsi sosial mengandung dua makna.
Pertama,
jika ada pertentangan antara kepentingan umum dan individu, maka yang
diutamakan adalah kepentingan umum dengan catatan kepentingan individu tidak
diabaikan.
Makna kedua, setiap orang yang
menguasai tanah harus sesuai dengan peruntukan tanahnya. Jika ia tidak
menggunakan tanah atau menelantarkannya, artinya bertentangan dengan fungsi
sosial. Tapi, jika menggunakan tanah tetapi tidak sesuai dengan peruntukannya
sebagaimana yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah (pemda) hal ini juga
bertentangan dengan fungsi sosial.
Sekarang siapa yang mempunyai fungsi
sosial ini, apakah penguasa atau yang menempati rumah? Tentu saja yang menempati
rumah tersebut. Si penghuni bisa memanfaatkan ketentuan pasal 6 UUPA, karena
negara telah menelantarkan tanah. Hal ini dikarenakan pemerintah terlalu
berlarut-larut untuk tidak menarik rumah dinas tersebut dari si penghuni. “Tapi
saya tidak berani ngomong apakah penghuni benar karena tidak punya data, tapi
ketentuan Pasal 6 UUPA, bisa ditelaah seperti itu,” ujar Hasni.
Pelanggaran HAM?
Bagaimana jika masalah ini ditinjau dari
sudut Hak Azasi Manusia (HAM). Apakah tindakan pemerintah melakukan penggusuran
ini melanggar HAM? Menurut Al Araf, Direktur Program Imparsial, ada persoalan
manejemen dalam kasus rumah dinas TNI. Menurutnya, rumah dinas memang hanya
bersifat sementara saja dan diperuntukkan bagi prajurit TNI yang masih aktif.
Namun, permasalahan ini harus dilihat secara objektif, karena tidak sepenuhnya
kesalahan yang dilakukan oleh purnawirawan itu sendiri.
Dalam praktiknya, Araf menambahkan
banyak modus yang sifatnya bervariatif yang menyebabkan para pensiunan
purnawirawan tinggal dengan jangka waktu yang lama. ”Mengapa mereka (pensiunan
purnawirawan) setelah selesai masa dinasnya 10 tahun yang lalu, pihak TNI tidak
mengambil langkah yang lebih proaktif, kenapa sudah sekian lama baru ditindak?
Itu artinya ada apa-apa di sini,,” ujarnya.
Araf
juga mengaku menolak penggunaan kekuatan-kekuatan yang koersif, apalagi sampai
melakukan penggusuran. Untuk menyelesaikan sengketa ini, Araf menghimbau agar
para pihak yang terkait duduk bersama. Selain itu, persoalan ini juga tidak
terlepas dari rendahnya tingkat kesejahteraan prajurit TNI. ” Penting buat
pemerintah dan departemen pertahanan agar memprioritaskan kesejahteraan TNI
sebagai prioritas utama dalam anggarannya,” tandasnya.
Sumber : hukumonline.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar