Minggu, 20 April 2014

Izin Menempati Eks Rumah Dinas Tak Bisa Diwariskan



Jika negara melanggar fungsi sosial tanah, penghuni bisa memanfaatkan tanah tersebut.
Masalah penggusuran rumah dinas pensiunan Purnawirawan Tentara Nasional Indonesia (TNI) tengah marak terjadi. Kasus seperti ini bukan perkara baru di Indonesia. Bukan hanya purnawirawan TNI yang ‘diusir’ dari bekas rumah dinasnya, tapi juga pensiunan PNS kerap menjadi korban pengusiran. Beberapa waktu lalu, pengusiran penghuni rumah dinas Ditjen Pajak di kawasan Kemanggisan, Jakarta Barat, bahkan menuai gugatan ke pengadilan. Ironisnya, kekerasan kadang tak terhidarkan dalam pengusiran tersebut.

Baru-baru ini sengketa rumah dinas TNI pun terjadi. Di Semarang misalnya, para mantan purnawirawan beserta sanak saudaranya, melakukan unjuk rasa penolakan penggusuran rumah dinas yang sudah puluhan tahun ditempatinya. Apa sebenarnya yang terjadi? Mengapa hal ini tidak pernah tuntas dan kerap terulang?


Tentu saja, hal ini merupakan masalah hukum. Menurut Hasni, Dosen Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Trisakti, dalam hukum agraria nasional dikenal suatu azas, di mana penguasaan penggunaan tanah oleh siapapun, untuk keperluan apapun harus ada landasan haknya. Jika seseorang menguasai tanah tanpa landasan hak, artinya penguasaannya ilegal dan dapat dikenakan sanksi tiga bulan kurungan. Hal ini sesuai dengan Perpu No. 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin yang Berhak atau Kuasanya.


Di Indonesia sendiri tanah terbagi atas dua golongan. Pertama, tanah negara yaitu tanah yang secara yuridis masih kosong dan belum ada hubungan hukum dengan perorangan. Artinya langsung dikuasai dan dikelolah oleh negara sebagai badan penguasa. Kedua, tanah yang memiliki hubungan hukum dengan orang pribadi atau badan hukum, atau yang sering kali disebut tanah hak.

Terkait dengan kasus penggusuran rumah dinas purnawirawan dan keturunannya, para TNI diberikan izin untuk menempati rumah dinas karena jasanya kepada negara. Namun yang perlu diperhatikan adalah rumah dinas bukan hak, tetapi hanya izin. Izin artinya boleh menggunakan kebendaan orang lain atas adanya suatu keputusan. Izin tidak bisa diwariskan karena ia bukan hak.“Kalau diizinkan, berarti izin itu pada yang bersangkutan, bukan kepada keturunan,” ujar Hasni kepada hukumonline.


Berdasarkan PP No. 31 Tahun 2005 tentang Rumah Negara, rumah negara terdiri dari tiga golongan. Rumah negara golongan I diperuntukkan bagi pejabat tertentu yang karena sifat jabatannya harus tinggal dirumah tersebut selama masa jabatannya. Golongan II adalah rumah negara yang tidak dapat dipisahkan dari satu instansi tertentu dan hanya disediakan kepada pegawai negeri. Apabila ia sudah berhenti, maka rumah negara tersebut harus dikembalikan kepada negara. Sedangkan untuk golongan III adalah rumah negara yang tak dapat dialihkan haknya. 

Namun, perlu diketahui bahwa hukum agraria menganut hukum adat dan mengenal azas pemisahan horizontal. Artinya, hukum yang berlaku atas tanah belum tentu berlaku terhadap bangunan dan tanaman di atasnya. Memang asas pemisahan horizontal ini tidak diatur secara tegas dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), tapi bisa ditafsirkan melalui Pasal 35 UUPA. “Jika pemerintah yang membangun rumah tersebut, maka dimungkinkan terjadinya peralihan hak. Namun, tanah terpisah dari bangunannya,” tambah Hasni.


Fungsi Sosial
Satu hal yang juga menjadi karakteristik dari hukum agraria adalah tanah berfungsi sosial. Fungsi sosial ini diatur dalam Pasal 6 UUPA. Menurut Hasni, fungsi sosial mengandung dua makna. 

Pertama, jika ada pertentangan antara kepentingan umum dan individu, maka yang diutamakan adalah kepentingan umum dengan catatan kepentingan individu tidak diabaikan.
Makna kedua, setiap orang yang menguasai tanah harus sesuai dengan peruntukan tanahnya. Jika ia tidak menggunakan tanah atau menelantarkannya, artinya bertentangan dengan fungsi sosial. Tapi, jika menggunakan tanah tetapi tidak sesuai dengan peruntukannya sebagaimana yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah (pemda) hal ini juga bertentangan dengan fungsi sosial.

Sekarang siapa yang mempunyai fungsi sosial ini, apakah penguasa atau yang menempati rumah? Tentu saja yang menempati rumah tersebut. Si penghuni bisa memanfaatkan ketentuan pasal 6 UUPA, karena negara telah menelantarkan tanah. Hal ini dikarenakan pemerintah terlalu berlarut-larut untuk tidak menarik rumah dinas tersebut dari si penghuni. “Tapi saya tidak berani ngomong apakah penghuni benar karena tidak punya data, tapi ketentuan Pasal 6 UUPA, bisa ditelaah seperti itu,” ujar Hasni.


Pelanggaran HAM?
Bagaimana jika masalah ini ditinjau dari sudut Hak Azasi Manusia (HAM). Apakah tindakan pemerintah melakukan penggusuran ini melanggar HAM? Menurut Al Araf, Direktur Program Imparsial, ada persoalan manejemen dalam kasus rumah dinas TNI. Menurutnya, rumah dinas memang hanya bersifat sementara saja dan diperuntukkan bagi prajurit TNI yang masih aktif. Namun, permasalahan ini harus dilihat secara objektif, karena tidak sepenuhnya kesalahan yang dilakukan oleh purnawirawan itu sendiri.

Dalam praktiknya, Araf menambahkan banyak modus yang sifatnya bervariatif yang menyebabkan para pensiunan purnawirawan tinggal dengan jangka waktu yang lama. ”Mengapa mereka (pensiunan purnawirawan) setelah selesai masa dinasnya 10 tahun yang lalu, pihak TNI tidak mengambil langkah yang lebih proaktif, kenapa sudah sekian lama baru ditindak? Itu artinya ada apa-apa di sini,,” ujarnya.

Araf juga mengaku menolak penggunaan kekuatan-kekuatan yang koersif, apalagi sampai melakukan penggusuran. Untuk menyelesaikan sengketa ini, Araf menghimbau agar para pihak yang terkait duduk bersama. Selain itu, persoalan ini juga tidak terlepas dari rendahnya tingkat kesejahteraan prajurit TNI. ” Penting buat pemerintah dan departemen pertahanan agar memprioritaskan kesejahteraan TNI sebagai prioritas utama dalam anggarannya,” tandasnya.

Sumber : hukumonline.com
 

 
 
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar