Pembangunan
perumahan di Indonesia telah berlangsung lama bahkan jauh sebelum era
kemerdekaan. Namun hasilnya masih belum dapat menuntaskan ‘backlog’, yang saat
ini telah mencapai sekitar 7,4 juta rumah tangga yang belum menempati rumah
yang layak. Ditengarai salah satu faktor penyebabnya adalah masih kurangnya pemahaman
bahwa perumahan merupakan bagian dari hak asasi manusia. Tulisan ini merupakan
bagian dari upaya advokasi dengan mencoba menjelaskan konsep perumahan sebagai
hak asasi manusia. Dimulai dengan konsep hak asasi itu sendiri, kemudian
perumahan sebagai bagian dari hak asasi. Dilengkapi dengan sejauhmana
internalisasinya dalam peraturan di Indonesia.
Pengertian
dan Ciri Pokok Hakikat HAM
HAM
didefinisikan sebagai hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia, sesuai dengan
kodratnya, yang diberikan langsung oleh Tuhan. Jika hak tersebut terabaikan
maka manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia. Sebagaimana tercantum dalam
pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa “Hak
Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum,
pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia”.
Pada
hakikatnya Hak Asasi Manusia terdiri atas dua hak dasar yang paling
fundamental, ialah hak persamaan dan hak kebebasan. Dari kedua hak dasar inilah
lahir hak-hak asasi lainnya atau tanpa kedua hak dasar ini, hak asasi
manusia lainnya sulit akan ditegakkan. Beberapa ciri pokok hakikat HAM yaitu
(i) HAM tidak perlu diberikan, dibeli ataupun diwarisi. HAM otomatis; (ii) HAM
berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis,
pandangan politik atau asal-usul sosial dan bangsa; (iii) HAM tidak bisa
dilanggar. Tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak orang
lain. Orang tetap mempunyai HAM walaupun sebuah negara membuat hukum
yang tidak melindungi atau melanggar HAM (Mansyur Fakih, 2003).
Pengakuan
Internasional
The
International Covenant on Economical and Social Rights (untuk selanjutnya
disingkat CESCR) telah disusun dan disepakati sebagai bagian dari Hukum HAM
Internasional (The International Bill of Rights ) dengan maksud
tidak lain adalah untuk melindungi hak-hak asasi manusia sehingga manusia
dapat hidup sebagai manusia seutuhnya, bebas, aman, terlindungi dan hidup
sehat. Hak untuk hidup sebagai hak yang paling kodrati tidak akan dapat pernah
tercapai kecuali semua hak-hak dasar yang dibutuhkan ketika manusia hidup
seperti “hak untuk bekerja, makan, rumah, kesehatan, pendidikan, dan budaya”
dapat tercukupi (adequately) dan tersedia (available) bagi setiap orang. Pasal
11 Ayat (1) CESCR menyatakan bahwa : “The States
Parties of the present Covenant recognize the right of everyone toan adaquate
standard of living for himlself and his family, including adequate food,
clothing and housing, and to the continous improvement of living
conditions. The State Parties will take appropiate steps to ensure the
realization of this right, recognizing to this effect essential importannce of
international co-operation based on free consent”.
Terjemahan bebasnya adalah negara-negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak untuk dirinya sendiri dan keluarganya, termasuk kecukupan pangan, pakaian, perumahan yang layak dan atas perbaikan kondisi penghidupan yang bersifat terus menerus. Negara-negara Pihak akan mengambil langkah-langkah yang layak untuk memastikan perwujudan hak ini.Implikasi dari ketentuan Pasal 11 Ayat (1) CESCR di atas adalah bahwa bagi setiap negara yang menjadi peserta atau meratifikasi kovenan ini (termasuk Indonesia), memiliki kewajiban untuk mengakui hak setiap warganegara atas standar hidup yang layak yaitu meliputi kecukupan atas makanan, pakaian dan perumahan serta senantiasa meningkatkan perbaikan kondisi penghidupan secara terus-menerus. Bahwa kata “recognize” atau mengakui atas hak setiap warga negara untuk mendapatkan standar hidup yang layak baik kecukupan makanan, pakaian, dan perumahan tersebut memiliki makna membebani kewajiban kepada negara yaitu “the obligation torespect” (kewajiban negara untuk menghormati), “the obligation to protect” (kewajiban untuk melindungi), “the obligation to promote (kewajiban untuk menyosialisasikan), “the obligation to fullfill” (kewajiban untuk memenuhi) hak-hak yang terkandung dalam kovenan CESCR melalui langkah-langkah yang nyata (Cekli Setya Pratiwi,2009).
Konteks
Indonesia
Sementara
itu, untuk menunjukkan penghargaan bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan
Bangsa-Bangsa yang mengemban tanggung jawab moral dan hukum untuk menjunjung
tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang
ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta berbagai instrumen
internasional lainnya mengenai hak asasi manusia, maka bangsa Indonesia secara
sadar bahkan telah mengeluarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/I998 tentang Hak Asasi Manusia. Di samping
itu, pengaturan mengenai hak asasi manusia pada dasarnya sudah tercantum dalam
berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk undang-undang yang mengesahkan berbagai
konvensi internasional mengenai hak asasi manusia.Kita juga patut bersyukur
bahwa jauh sebelumnya, konsep hak asasi manusia sebenarnya telah tercantum dalamUndang
Undang Dasar Republik Indonesia mulai dari UUD 1945 yang awal sampai pada UUD
1945 amandemen. Khusus pada Perubahan Kedua UUD 1945 yang ditetapkan pada
tanggal 18 Agustus Tahun 2000, terdapat beberapa pasal terkait HAM yang
mengalami perubahan dan penambahan. Pada perubahan kali ini,UUD 1945 dinilai
lebih rinci dalam mengatur dan menjamin perlindungan HAM dibanding sebelumnya.
Lebih jelasnya terkait dengan hak atas rumah, UUD 1945 khususnya Pasal 28H Ayat
(1) disebutkan bahwa : Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat,
berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Walaupun pemahaman ‘hak bertempat
tinggal’ bisa saja sedikit berbeda, lebih luas atau lebih sempit, dibanding
‘hak atas perumahan”, yang diterjemahkan sebagai seseorang dapat saja menghuni
rumah meskipun dia tidak memiliki rumah tersebut. Dalam kondisi sosial masyarakat
yang komunal seperti di Indonesia, masih banyak ditemui rumah tangga yang
tinggal bersama dengan keluarga besarnya. Konsep yang ada dalam UUD 1945 Pasal
28H tersebut sebenarnya hanya mengulang ketentuan yang ada dalam Pasal 9 UU
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang memang lebih dulu dibuat
(satu tahun sebelum amandemen Pasal 28 dilakukan). Dalam Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999, khususnya Bagian Kesatu Hak Untuk Hidup Pasal 9 Ayat (1), (2), dan
(3) dinyatakan bahwa (1) Setiap orang berhak untuk hidup,mempertahankan hidup
dan meningkatkan taraf kehidupannya; (2) Setiap orang berhak hidup tenteram,
aman,damai, bahagia sejahtera, lahir dan batin; (3) Setiap orang berhak atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat.Sementara yang mengacu pada perumahan
adalah pasal 40 yang menyatakan setiap orang berhak untuk bertempat
tinggal serta berkehidupan yang layak. Sebenarnya Undang Undang Nomor 4 Tahun
1992 tentang Perumahan dan Permukiman masih lebih maju. Disebutkan bahwa setiap
warga negara mempunyai hak untuk menempati dan/atau menikmati dan/atau memiliki
rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur. Bahkan
diatur lebih jauh lagi tidak hanya hak tetapi juga kewajibannya, yaitu dalam
ayat 2 disebut setiap warga negara mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk
berperan serta dalam pembangunan perumahan dan permukiman. Jelas bahwa rumah yang
layak menjadi hak setiap warga negara Indonesia. Bahkan sejalan dengan
perkembangan dunia internasional, pemerintah Indonesia telah meratifikasi
kovenan internasional tentang hak ekonomi, sosial, budaya melalui UU Nomor 11
Tahun 2005 sehingga negara harus memenuhi hak masyarakat termasuk kebutuhan
akan perumahan.
Tanggungjawab
Pemerintah
Berdasar
komentar umum Nomor 15 dari Komite PBB tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
bahwa hak atas rumah sebagaimana hak asasi lainnya menghasilkan tiga tipe
kewajiban bagi negara yaitu kewajiban menghargai (to respect), kewajiban
melindungi (to protect), dan kewajiban memenuhi (to fulfil ).
Kewajiban
menghormati
Kewajiban
ini mengharuskan negara tidak mengganggu baik langsung maupun
tidak langsung keberadaan hak atas rumah. Kewajiban termasuk misalnya
tidak membatasi akses kepada siapapun. Kewajiban melindungi: mengatur pihak
ketiga. Kewajiban ini mengharuskan negara untuk menghalangi campur tangan pihak
ketiga dengan cara apapun keberadaan hak atas rumah. Pihak ketiga termasuk
individu, kelompok, perusahaan dan institusi yang dibawah kendali pemerintah.
Kewajiban termasuk mengadopsi regulasi yang efektif.
Kewajiban
memenuhi:
fasilitasi,
promosi dan penyediaan. Kewajiban ini mengharuskan pemerintah mengambil langkah
untuk memenuhi hak atas rumah.Hal ini sejalan dengan apa yang tercantum dalam
UUD 1945 Pasal28I Ayat (4) bahwa pemenuhan hak asasi manusia adalah
tanggungjawab negara khususnya pemerintah. Bagaimana bentuk tanggung jawabnya?.
Hal tersebut diatur dalam pasal 27 Undang Undang Nomor 4 tahun1992, yang
menyebutkan bahwa pemerintah memberikan bimbingan, bantuan, dan kemudahan
kepada masyarakat baik dalam tahap perencanaan maupun dalam pelaksanaan, serta
melakukan pengawasan dan pengendalian untuk meningkatkan kualitas permukiman. Bagaimana
dengan pemerintah daerah? Sebenarnya penentu utama tercapainya hak atas rumah
sebagai hak asasi manusia berada ditangan pemerintah daerah. Komentar Umum PBB
Nomor 15 menegaskan bahwa pemerintah pusat harus memastikan bahwa pemerintah
daerah mempunyai kapasitas baik sumber daya keuangan maupun sumber daya
manusia. Hal ini juga sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun2007
tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Indikator
Pemenuhan Hak
Komite Hak
Ekonomi Sosial Budaya memberikan penjelasan terhadap ketentuan Pasal 11 CESCR
tentang apa yang dimaksud ”adequate housing”. The Committee has defined the
term ”adequate
housing to the comprise security of tenure, availability of services,
affortability, habitability, accessibility, location and cultural adequacy”. Dengan
demikian, terhadap kewajiban negara khususnya Pemerintah baik pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah dalam rangka menjamin pemenuhan hak atas rumah
setidak-tidaknya dapat diukur menggunakan 6 (enam) indikator yaitu (1) sifat
kepemilikan haknya (security of tenure), (2) ketersediaan pelayanannya (availability
of services), (3) keterjangkauan daya beli masyarakatnya (affordability), (4)
kelayakansebagai tempat tinggal (habitability), (5) adanya peluang bagi setiap
orang (accessibility), serta (6) kesiapan lokasi dan daya dukung budaya (location
and cultural adequacy). Oleh karena itu, peraturan daerah yang dikeluarkan oleh
pemerintah daerah dalam rangka pemenuhan hak rumah atas warga daerahnya tidak
boleh sekedar memperhatikan satu atau dua indikator saja dari keenam indikator
di atas, melainkan seharusnya memperhatikan pemenuhan semua indicator.
Agenda ke
Depan
Pada
kenyataannya, tidak mudah untuk memenuhi kewajiban pemerintah tersebut.
Sejumlah faktor dibutuhkan untuk memastikan rumah sebagai hak asasi terpenuhi.
Pertama,
pemerintah harus memiliki regulasi dan intitusi yang efektif, termasuk otoritas
publik yang mempunyai mandat jelas yang dibekali sumber dana dan sumber daya
manusia memadai.
Kedua,
informasi dan pendidikan. Ini dibutuhkan untuk memastikan pembangunan perumahan
yang transparan dan bertanggung jawab. Masyarakat harus mengetahui dan memahami
hak mereka. Tentunya sebaliknya juga mereka harus tahu kewajibannya. Di
lain pihak, otoritas publik juga harus mengetahui kewajibannya.
Ketiga,
dialog multi pihak. Dialog ini melibatkan berbagai pihak mulai dari swasta,
LSM, masyarakat miskin, yang dapat berkontribusi dalam proses perencanaan,
pembangunan dan pengelolaan perumahan. Hal ini dapat menjadikan otoritas publik
lebih bertanggungjawab dan transparan.
Keempat, menjadikan
pemerintah daerah sebagai ujung tombak. Seringkali aktor utama dari pembangunan
perumahan terlupakan. Berdasarkan regulasi yang ada, pemerintah daerah lah yang
saat ini menjadi pihak yang bertanggungjawab. Menjadi pertanyaan penting,
sejauh mana konsep rumah sebagai hak asasi manusia telah dipahami oleh
pengambil keputusan di daerah. Jika itu saja belum terlaksana, jangan berharap
banyak bahwa resolusi PBB tersebut akan berdampak bagi pengurangan angka backlog
di Indonesia.
Kelima,
internalisasi konseprumah sebagai hak asasi manusia kedalam dokumen perencanaan
pemerintah daerah, semisal rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
Secara eksplisit dinyatakan dan dijadikan indikator kinerja perumahan.
Oleh Oswar
Mungkasa*
Bekerja di
Direktorat Permukiman dan Perumahan, Bappenas.
Tulisan ini
pernah dimuat di Majalah INFORUM Edisi I Tahun 2010. Semoga bermanfaat bagi kita semua !
Muhaimin firaun pantas kau dkirim keneraka... gk guna jabatanmu .. ingat azab mu laknatullah.. amin.
BalasHapus