Kasus ini merupakan sengketa perumahan menggunakan kekuatan hukum tetap
sehingga jika pelaksanaan eksekusi seharusnya bukan oleh Kodam V Brawijaya namun
Makamah Agung. Langkah Kodam V Brawijaya mengambil alih sejumlah aset
rumah dinas prajurit TNI di kawasan Jalan Taman Hayam Wuruk, Surabaya, dinilai
serampangan dan menggampangkan masalah. Pendekatan yang diambil sekadar untuk
mengeluarkan para penghuni lama dari rumah-rumah dinas tadi. Langkah penertiban
itu memicu banyak kontroversi sekaligus penolakan dari para purnawirawan
beserta anggota keluarga mereka. Mereka berkeyakinan dilatari hal lain. Sebab,
penertiban itu tak hanya terjadi di Kodam V Brawijaya, namun juga terjadi di
sejumlah Kodam lainnya.
Sepertinya, seluruh langkah penertiban lebih
didorong adanya penerapan kebijakan baru pemerintah, terutama terkait tertib
anggaran dan aset negara. Langkah pemerintah dalam menertibkan kebijakan sistem
keuangan dan penganggaran baru, yang juga diterapkan di seluruh instansi
pemerintah. Sehingga pendataan aset-aset negara yang ada mendesak untuk segera
dilakukan dan diupayakan bisa segera selesai.
Selain itu, Kementerian Pertahanan juga
menginginkan perubahan mekanisme penganggaran khusus untuk bidang pertahanan,
yang memungkinkan adanya mekanisme anggaran multi-tahun (multi-years), bahkan
sampai mencakup sekaligus tiga perencanaan strategis (renstra) atau 15 tahun
mendatang. Semua hanya bisa terealisasi jika seluruh mekanisme anggaran dan
pemanfaatan serta pertanggungjawaban aset negara di tubuh TNI dan Kementerian
Pertahanan sudah beres dan tertata dengan baik, termasuk soal keberadaan aset
sampai penggunaannya.
Namun, sangat disayangkan, langkah yang diambil
cenderung menggampangkan masalah. Apalagi para purnawirawan yang diusir itu
tidak sedikit yang dahulu memiliki jasa besar dan pernah dianugerahi bintang
jasa oleh pemerintah, misalnya karena terlibat dalam pertempuran atau operasi
tertentu. Sebaiknya pemerintah berani mencari skema moratorium dengan
menetapkan kondisi status quo terhadap aset-aset rumah prajurit TNI ketimbang
sekadar menggusur.
Malah jika memungkinkan, juga diatur soal ganti
kerugian terhadap para penghuni yang telah lama tinggal di situ. Semestinya,
pemerintah juga harus berani menjadikan, misalnya, membangun kekurangan
perumahan prajurit TNI sesuai kebutuhan saat ini, dengan menjadikannya semacam
mega proyek yang pelaksanaan pembangunannya diserahkan ke instansi lain semacam
kementerian bidang perumahan rakyat. Selain itu pada masa mendatang, pemerintah
dalam mengalokasikan anggaran pertahanan juga semestinya bisa memasukkan
komponen tunjangan perumahan bagi para prajurit TNI dalam struktur penggajian
(remunerasi) sehingga memungkinkan mereka memiliki rumah pribadi dan bukannya
dalam bentuk rumah dinas.
Pelanggaran HAM
Hingga kini, tercatat sebanyak lima rumah dinas
yang telah dieksekusi dan mendapat pengawasan ketat dari Kodam V Brawijaya. Di
masing-masing rumah tersebut terpampang tulisan: “Rumah Dinas Ajedam
V/Brawijaya”. Warga Jalan Taman Hayam Wuruk yang tinggal di lingkungan
Perumahan Dinas Kodam V Brawijaya menilai eksekusi rumahnya oleh TNI AD sebagai
bentuk pelanggaran hukum. Warga akan menempuh jalur hukum untuk mempertahankan
haknya.
Kebijakan Kodam V Brawijaya dinilai sudah tidak
manusiawi dan melanggar hukum maupun HAM. Menurut salah satu warga, Slamet
Fitriadi, jika rumah yang dieksekusi bukanlah hak dan milik TNI AD atau rumah
dinas. “Bapak saya beli tanah yang kini berdiri rumah dengan cara potong
gaji. Dan saat itu, Kodam belum ada di sini, masih di Malang,” katanya pada
wartawan. Slamet menegaskan jika selama ini, pihaknya juga membayar pajak, air
dan listrik atas nama Kapten Djauhari, orangtuanya yang sudah almarhum, karena
sudah mempunyai PIJB (Perjanjian Ikatan Jual Beli) rumah di RT 02 RW 08,
Kelurahan Sawunggaling, Kecamatan Wonokromo itu. Pihaknya secara rutin telah
membayar pajak, air, dan listrik berdasarkan PIJB. Namun, ketika akan mengurus
sertifikat, dihalangi oleh Kodam dan diakui jika rumah tersebut milik kodam
serta berstatus rumah dinas.
Namun Slamet dan warga lainnya yang rumahnya di
eksekusi paksa tidak bisa melakukan banyak perlawanan. Mereka pun
berencana mengajukan gugatan ke pengadilan. “Kita biarkan. Ngapaian kita
ladeni, kita bukan teroris, bukan pelaku kriminal. Akan kita naikkan ke
pengadilan dan membuat laporan perampasan dan penjarahan serta pelanggaran
HAM,” imbuhnya. Lima rumah yang sudah dieksekusi oleh pasukan Kodam V Brawijaya
itu ditempati Murjilah (anak alm. Lettu Abd. Rochim), Atik (janda Purn Asmad
Hadi Subroto), Mintarsih (anak alm. Kapt Djuhari), Subandrio (anak Mayor Purn.
Charis Chusum) dan Sigit Tri Cahyono (anak alm. Mayor Martono).
Sebelumnya, Kepala Penerangan Kodam V Brawijaya
Letnan Kolonel Totok Sugiharto melalui siaran pers, Rabu (11/7/2012),
menyatakan Panglima Kodam V Brawijaya juga sudah menerbitkan surat peringatan
sebanyak tiga kali. “Kodam juga mencarikan rumah sewa untuk 5 KK tersebut
dengan biaya dari Kodam selama satu tahun, rumah sewa tersebut layak dan nyaman
untuk di huni karena berada di tengah kota dengan harga sewa antara 7 juta
sampai dengan 10 juta,” jelasnya. Penertiban itu menurut Totok berdasarkan
Surat Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 260 K/TUN/2010 tanggal 28
September 2010 tentang penolakan permohonan kasasi Penghuni Rumdis Gol. II TNI
AD Kodam V/Brawijaya atas nama Budhijanto, SH dan 23 orang lainnya. Serta tiga
surat peringatan Pangdam V/Brawijaya tentang pengosongan Rumah Dinas Gol II TNI
AD, sehingga Kodam V/Brawijaya menempuh langkah untuk menertibkan perumahan
yang berada di lingkungan Kodam V/Brawijaya.
Eksekusi Paksa
Pimpinan Kodam V Brawijaya nampaknya habis
kesabarannya dalam melakukan eksekusi tersebut. Ratusan anggota TNI AD dikerahkan
untuk mengeksekusi paksa 5 rumah dinas di Jalan Taman Hayam Wuruk yang
penghuninya melakukan perlawanan.
Pasukan bersenjata pentungan, helm dan senjata
laras panjang, disiagakan dalam eksekusi tersebut. Untuk memuluskan upaya
eksekusi paksa ini, Jalan Hayam Wuruk ditutup dua arah dari sisi selatan hingga
perempatan yang mengarah ke Stadion Brawijaya. Di titik penutupan tersebut
dijaga oleh provost. Sedangkan pasukan yang berseragam lengkap langsung masuk
ke dalam Taman Hayam Wuruk dan mengosongkan secara paksa seluruh isi rumah
dinas tersebut.
Perabotan rumah tangga dan berbagai isi rumah
lainnya dari kelima rumah dinas tersebut, diangkut oleh truk dari Kodam yang
juga sudah disiapkan. Upaya eksekusi paksa ini dimulai pukul 06.00 WIb.
Perlawanan yang selama ini dilakukan penghuninya pun sia-sia. Bahkan pasukan
dari Kodam V Brawijaya terpaksa menjebol tembok pembatas antara Perumahan Taman
Hayam Wuruk dengan Hayam Wuruk Dodik selebar 5 meter.
Warga Perumahan Taman Hayam Wuruk heran melihat
banyaknya pasukan
Dari Batalyon infantri Raider 500. “Kita juga
terheran-heran. Apakah kita ini betul-betul dianggap sebagai teroris, dianggap
sebagai gerombolan pemberontak, sehingga perlu pengerahan pasukan yang begitu
besar,” kata Letkol (purn) Budhijanto kepada wartawan. Mantan Dandim Surabaya Timur ini juga
mempertanyakan pengerahan pasukan yang dilengkapi dengan peluru karet, anjing,
serta raider. “Saya nggak mengerti apa dibenaknya pejabat kodam itu sampai
mengerahkan pasukan begitu besarnya hanya untuk membobol tembok. Sejak dulu
kami tidak ada masalah dengan warga Dodik (lokasinya di sebelah selatan Taman
Hayam Wuruk). Kalau alasannya akses masuk, siapa saja mau masuk kita terima,
wong ini perumahan umum silahkan,” tuturnya.
Mantan Kakansospol Kota Surabaya ini menilai,
tindakan pengerahan pasukan hingga dilengkapi peluru karet maupun anjing
pelacak sebagai bentuk intimidasi kepada purnawirawan, warakawuri yang tinggal
di Taman Hayam Wuruk.
“Mungkin ini intimidasi. Kita kan orang tua
semua. Banyak orang tua melihat anjing langsung gemeteran. Juga gemeteran
melihat pasukan seperti itu. Kayaknya dianggap ini sarang penjahat yang mau
ditumpas. Padahal hanya merobohkan tembok.Ini bukan hanya intimidasi, tapi
tekanan mental yang tak patut dilakukan aparat yang harusnya melindungi kita,”
ujarnya.
Putusan Kasasi Hadang Warga
Keinginan warga Taman Hayam Wuruk komplek Makodam
V Brawijaya memiliki sertifikat lahan dan rumah yang ditempatinya bisa jadi
kandas. Pasalnya, keputusan Kasasi MA RI No 260K/TUN/2010 tanggal 28 September
2010 menolak permohonan 23 warga.
“Tanah itu tanah milik negara. Tidak boleh
disertifikatkan atas nama pribadi,” kata Irdam V Brawijaya, Kol Inf Heros
Paduppai saat jumpa pers bersama Asisten Logistik Kol Kav Bueng Wardadi dan
beberapa pejabat utama Kodam V Brawijaya di makodam, pada Selasa (28/2/2012). Menurutnya, warga Taman Hayam Wuruk sudah
bersengketa dengan Kodam V Brawijaya sejak tahun 2007 lalu. Bahkan, 23 KK dari
42 KK penghuni perumahan Taman Hayam Wuruk menggugat ke PTUN hingga ke Mahkamah
Agung. Pemohon Kasasi Budhijanto Letkol (purn) bersama 22 KK lainnya ditolak. Meski menang di Kasasi, kodam tidak akan
melakukan upaya paksa menggusur penghuni rumah tersebut. Namun, kodam meminta
kesadaran purnawirawan agar meninggalkan rumah di atas tanah negara itu.
“Kita nggak pernah mengusir. Kami sangat
menghargai beliau-beliau. Rumah dinas kan untuk anggota aktif. Kasihan, banyak
anggota aktif anggota organik yang kontrak dua kamar,” tuturnya.
Anggota organik yang berdinas di lingkungan kodam
sebanyak 9 perwira menengah (pamen), 25 perwira pertama (pama), 74 terdiri dari
bintara dan tamtama. “Kasihan anggota aktif. Setiap bulan menyisihkan Rp
300-500 ribu per bulan untuk kontrak dua kamar di belakang (makodam). Sementara
banyak yang tidak berhak menempati rumah dinas masih menempatinya. Ini tidak
hanya terjadi di kodam saja, tapi juga di kesatuan lain,” tuturnya.
Paduppai mengatakan, hingga kini masih belum ada
alokasi anggaran untuk penambahan pembangunan rumah dinas. Padahal, setiap
tahunnya, jumlah anggota yang kontrak tempat tinggal lebih banyak, karena rumah
dinas tidak dikembalikan oleh penghuni sebelumnya.
“Setiap tahun anggota organik yang kontrak
rumah selalu membengkak, karena senior-senior nggak mau keluar dari rumah
dinas, tidak mau mengembalikan rumah milik negara,” terangnya.
Ia menambahkan, Kodam V Brawijaya memiliki
lahan seluas lebih dari 112 hektar. Untuk menghindari sengketa tanah, pihaknya
sudah menginvetarisir dan mengajukan sertifikat. “Ada yang sudah kita
sertifikatkan seperti markas Raider. Untuk Taman Hayam Wuruk juga masih kita
proses sertifikat,” jelasnya.
Baik pejabat Sipil maupun TNI memiliki alasan yang sama bahwa yang masih aktif membutuhkan rumah sedangkan yang sudah purna bakti dianggap sudah memiliki rumah dan harus keluar dengan suka rela. Padahal kesejahteraan yang masih aktif sekarang jauh lebih baik ketimbang seniornya dulu, mencari pinjaman di Bank sangatlah mudah bahkan Bank-nya sendiri yang datang menawari, berbeda dengan seniornya yang sekarang sudah pensiun, kekurangan biaya hidup dahulu sebagian besar menggunakan jasa rentenir yang dikenal dengan "ngrolasi" atau duabelasan, pinjam seribu Rupiah kembali seribu dua ratus Rupiah sebulan. Berangkat tugas menggunakan jemputan truk,yang sekarang motor bahkan mobil mereka sudah memiliki tetapi masih ingin menempati perumahan dengan cara gratis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar