Kamis, 12 Desember 2013

Penolakan Kasasi MA terhadap Penghuni Rumah Dinas TNI Kodam V Brawijaya.


Kasus ini merupakan sengketa perumahan menggunakan kekuatan hukum tetap sehingga jika pelaksanaan eksekusi seharusnya bukan oleh Kodam V Brawijaya namun Makamah Agung. Langkah Kodam V Brawijaya mengambil alih sejumlah aset rumah dinas prajurit TNI di kawasan Jalan Taman Hayam Wuruk, Surabaya, dinilai serampangan dan menggampangkan masalah. Pendekatan yang diambil sekadar untuk mengeluarkan para penghuni lama dari rumah-rumah dinas tadi. Langkah penertiban itu memicu banyak kontroversi sekaligus penolakan dari para purnawirawan beserta anggota keluarga mereka. Mereka berkeyakinan dilatari hal lain. Sebab, penertiban itu tak hanya terjadi di Kodam V Brawijaya, namun juga terjadi di sejumlah Kodam lainnya.

Sepertinya, seluruh langkah penertiban lebih didorong adanya penerapan kebijakan baru pemerintah, terutama terkait tertib anggaran dan aset negara. Langkah pemerintah dalam menertibkan kebijakan sistem keuangan dan penganggaran baru, yang juga diterapkan di seluruh instansi pemerintah. Sehingga pendataan aset-aset negara yang ada mendesak untuk segera dilakukan dan diupayakan bisa segera selesai.


Selain itu,  Kementerian Pertahanan juga menginginkan perubahan mekanisme penganggaran khusus untuk bidang pertahanan, yang memungkinkan adanya mekanisme anggaran multi-tahun (multi-years), bahkan sampai mencakup sekaligus tiga perencanaan strategis (renstra) atau 15 tahun mendatang. Semua hanya bisa terealisasi jika seluruh mekanisme anggaran dan pemanfaatan serta pertanggungjawaban aset negara di tubuh TNI dan Kementerian Pertahanan sudah beres dan tertata dengan baik, termasuk soal keberadaan aset sampai penggunaannya.

Namun, sangat disayangkan, langkah yang diambil cenderung menggampangkan masalah. Apalagi para purnawirawan yang diusir itu tidak sedikit yang dahulu memiliki jasa besar dan pernah dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah, misalnya karena terlibat dalam pertempuran atau operasi tertentu. Sebaiknya pemerintah berani mencari skema moratorium dengan menetapkan kondisi status quo terhadap aset-aset rumah prajurit TNI ketimbang sekadar menggusur.

Malah jika memungkinkan, juga diatur soal ganti kerugian terhadap para penghuni yang telah lama tinggal di situ. Semestinya, pemerintah juga harus berani menjadikan, misalnya, membangun kekurangan perumahan prajurit TNI sesuai kebutuhan saat ini, dengan menjadikannya semacam mega proyek yang pelaksanaan pembangunannya diserahkan ke instansi lain semacam kementerian bidang perumahan rakyat. Selain itu pada masa mendatang, pemerintah dalam mengalokasikan anggaran pertahanan juga semestinya bisa memasukkan komponen tunjangan perumahan bagi para prajurit TNI dalam struktur penggajian (remunerasi) sehingga memungkinkan mereka memiliki rumah pribadi dan bukannya dalam bentuk rumah dinas.

 

Pelanggaran HAM
Hingga kini, tercatat sebanyak lima rumah dinas yang telah dieksekusi dan mendapat pengawasan ketat dari Kodam V Brawijaya. Di masing-masing rumah tersebut terpampang tulisan: “Rumah Dinas Ajedam V/Brawijaya”. Warga Jalan Taman Hayam Wuruk yang tinggal di lingkungan Perumahan Dinas Kodam V Brawijaya menilai eksekusi rumahnya oleh TNI AD sebagai bentuk pelanggaran hukum. Warga akan menempuh jalur hukum untuk mempertahankan haknya.


Kebijakan Kodam V Brawijaya dinilai sudah tidak manusiawi dan melanggar hukum maupun HAM. Menurut salah satu warga, Slamet Fitriadi, jika rumah yang dieksekusi bukanlah hak dan milik TNI AD atau rumah dinas. “Bapak saya beli tanah yang kini berdiri rumah dengan cara potong gaji. Dan saat itu, Kodam belum ada di sini, masih di Malang,” katanya pada wartawan. Slamet menegaskan jika selama ini, pihaknya juga membayar pajak, air dan listrik atas nama Kapten Djauhari, orangtuanya yang sudah almarhum, karena sudah mempunyai PIJB (Perjanjian Ikatan Jual Beli) rumah di RT 02 RW 08, Kelurahan Sawunggaling, Kecamatan Wonokromo itu. Pihaknya secara rutin telah membayar pajak, air, dan listrik berdasarkan PIJB. Namun, ketika akan mengurus sertifikat, dihalangi oleh Kodam dan diakui jika rumah tersebut milik kodam serta berstatus rumah dinas.


Namun Slamet dan warga lainnya yang rumahnya di eksekusi paksa tidak bisa melakukan banyak perlawanan.  Mereka pun berencana mengajukan gugatan ke pengadilan. “Kita biarkan. Ngapaian kita ladeni, kita bukan teroris, bukan pelaku kriminal. Akan kita naikkan ke pengadilan dan membuat laporan perampasan dan penjarahan serta pelanggaran HAM,” imbuhnya. Lima rumah yang sudah dieksekusi oleh pasukan Kodam V Brawijaya itu ditempati Murjilah (anak alm. Lettu Abd. Rochim), Atik (janda Purn Asmad Hadi Subroto), Mintarsih (anak alm. Kapt Djuhari), Subandrio (anak Mayor Purn. Charis Chusum) dan Sigit Tri Cahyono (anak alm. Mayor Martono).


Sebelumnya, Kepala Penerangan Kodam V Brawijaya Letnan Kolonel Totok Sugiharto melalui siaran pers, Rabu (11/7/2012), menyatakan Panglima Kodam V Brawijaya juga sudah menerbitkan surat peringatan sebanyak tiga kali. “Kodam juga mencarikan rumah sewa untuk 5 KK tersebut dengan biaya dari Kodam selama satu tahun, rumah sewa tersebut layak dan nyaman untuk di huni karena berada di tengah kota dengan harga sewa antara 7 juta sampai dengan 10 juta,” jelasnya. Penertiban itu menurut Totok berdasarkan Surat Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 260 K/TUN/2010 tanggal 28 September 2010 tentang penolakan permohonan kasasi Penghuni Rumdis Gol. II TNI AD Kodam V/Brawijaya atas nama Budhijanto, SH dan 23 orang lainnya. Serta tiga surat peringatan Pangdam V/Brawijaya tentang pengosongan Rumah Dinas Gol II TNI AD, sehingga Kodam V/Brawijaya menempuh langkah untuk menertibkan perumahan yang berada di lingkungan Kodam V/Brawijaya.


Eksekusi Paksa
Pimpinan Kodam V Brawijaya nampaknya habis kesabarannya dalam melakukan eksekusi tersebut. Ratusan anggota TNI AD dikerahkan untuk mengeksekusi paksa 5 rumah dinas di Jalan Taman Hayam Wuruk yang penghuninya melakukan perlawanan.

Pasukan bersenjata pentungan, helm dan senjata laras panjang, disiagakan dalam eksekusi tersebut.  Untuk memuluskan upaya eksekusi paksa ini, Jalan Hayam Wuruk ditutup dua arah dari sisi selatan hingga perempatan yang mengarah ke Stadion Brawijaya. Di titik penutupan tersebut dijaga oleh provost. Sedangkan pasukan yang berseragam lengkap langsung masuk ke dalam Taman Hayam Wuruk dan mengosongkan secara paksa seluruh isi rumah dinas tersebut.

Perabotan rumah tangga dan berbagai isi rumah lainnya dari kelima rumah dinas tersebut, diangkut oleh truk dari Kodam yang juga sudah disiapkan. Upaya eksekusi paksa ini dimulai pukul 06.00 WIb. Perlawanan yang selama ini dilakukan penghuninya pun sia-sia. Bahkan pasukan dari Kodam V Brawijaya terpaksa menjebol tembok pembatas antara Perumahan Taman Hayam Wuruk dengan Hayam Wuruk Dodik selebar 5 meter.


Warga Perumahan Taman Hayam Wuruk heran melihat banyaknya pasukan

Dari Batalyon infantri Raider 500. “Kita juga terheran-heran. Apakah kita ini betul-betul dianggap sebagai teroris, dianggap sebagai gerombolan pemberontak, sehingga perlu pengerahan pasukan yang begitu besar,” kata Letkol (purn) Budhijanto kepada wartawan. Mantan Dandim Surabaya Timur ini juga mempertanyakan pengerahan pasukan yang dilengkapi dengan peluru karet, anjing, serta raider. “Saya nggak mengerti apa dibenaknya pejabat kodam itu sampai mengerahkan pasukan begitu besarnya hanya untuk membobol tembok. Sejak dulu kami tidak ada masalah dengan warga Dodik (lokasinya di sebelah selatan Taman Hayam Wuruk). Kalau alasannya akses masuk, siapa saja mau masuk kita terima, wong ini perumahan umum silahkan,” tuturnya.

Mantan Kakansospol Kota Surabaya ini menilai, tindakan pengerahan pasukan hingga dilengkapi peluru karet maupun anjing pelacak sebagai bentuk intimidasi kepada purnawirawan, warakawuri yang tinggal di Taman Hayam Wuruk.

“Mungkin ini intimidasi. Kita kan orang tua semua. Banyak orang tua melihat anjing langsung gemeteran. Juga gemeteran melihat pasukan seperti itu. Kayaknya dianggap ini sarang penjahat yang mau ditumpas. Padahal hanya merobohkan tembok.Ini bukan hanya intimidasi, tapi tekanan mental yang tak patut dilakukan aparat yang harusnya melindungi kita,” ujarnya.


Putusan Kasasi Hadang Warga
Keinginan warga Taman Hayam Wuruk komplek Makodam V Brawijaya memiliki sertifikat lahan dan rumah yang ditempatinya bisa jadi kandas. Pasalnya, keputusan Kasasi MA RI No 260K/TUN/2010 tanggal 28 September 2010 menolak permohonan 23 warga.

“Tanah itu tanah milik negara. Tidak boleh disertifikatkan atas nama pribadi,” kata Irdam V Brawijaya, Kol Inf Heros Paduppai saat jumpa pers bersama Asisten Logistik Kol Kav Bueng Wardadi dan beberapa pejabat utama Kodam V Brawijaya di makodam, pada Selasa (28/2/2012). Menurutnya, warga Taman Hayam Wuruk sudah bersengketa dengan Kodam V Brawijaya sejak tahun 2007 lalu. Bahkan, 23 KK dari 42 KK penghuni perumahan Taman Hayam Wuruk menggugat ke PTUN hingga ke Mahkamah Agung. Pemohon Kasasi Budhijanto Letkol (purn) bersama 22 KK lainnya ditolak. Meski menang di Kasasi, kodam tidak akan melakukan upaya paksa menggusur penghuni rumah tersebut. Namun, kodam meminta kesadaran purnawirawan agar meninggalkan rumah di atas tanah negara itu.

“Kita nggak pernah mengusir. Kami sangat menghargai beliau-beliau. Rumah dinas kan untuk anggota aktif. Kasihan, banyak anggota aktif anggota organik yang kontrak dua kamar,” tuturnya.
Anggota organik yang berdinas di lingkungan kodam sebanyak 9 perwira menengah (pamen), 25 perwira pertama (pama), 74 terdiri dari bintara dan tamtama. “Kasihan anggota aktif. Setiap bulan menyisihkan Rp 300-500 ribu per bulan untuk kontrak dua kamar di belakang (makodam). Sementara banyak yang tidak berhak menempati rumah dinas masih menempatinya. Ini tidak hanya terjadi di kodam saja, tapi juga di kesatuan lain,” tuturnya.

Paduppai mengatakan, hingga kini masih belum ada alokasi anggaran untuk penambahan pembangunan rumah dinas. Padahal, setiap tahunnya, jumlah anggota yang kontrak tempat tinggal lebih banyak, karena rumah dinas tidak dikembalikan oleh penghuni sebelumnya.

“Setiap tahun anggota organik yang kontrak rumah selalu membengkak, karena senior-senior nggak mau keluar dari rumah dinas, tidak mau mengembalikan rumah milik negara,” terangnya.
 Ia menambahkan, Kodam V Brawijaya memiliki lahan seluas lebih dari 112 hektar. Untuk menghindari sengketa tanah, pihaknya sudah menginvetarisir dan mengajukan sertifikat. “Ada yang sudah kita sertifikatkan seperti markas Raider. Untuk Taman Hayam Wuruk juga masih kita proses sertifikat,” jelasnya.

Baik pejabat Sipil maupun TNI memiliki alasan yang sama bahwa yang masih aktif membutuhkan rumah sedangkan yang sudah purna bakti dianggap sudah memiliki rumah dan harus keluar dengan suka rela. Padahal kesejahteraan yang masih aktif sekarang jauh lebih baik ketimbang seniornya dulu, mencari pinjaman di Bank sangatlah mudah bahkan Bank-nya sendiri yang datang menawari, berbeda dengan seniornya yang sekarang sudah pensiun, kekurangan biaya hidup dahulu sebagian besar menggunakan jasa rentenir yang dikenal dengan "ngrolasi" atau duabelasan, pinjam seribu Rupiah kembali seribu dua ratus Rupiah sebulan. Berangkat tugas menggunakan jemputan truk,yang sekarang motor bahkan mobil mereka sudah memiliki tetapi masih ingin menempati perumahan dengan cara gratis.

 

 
 
 
 


 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar