Biasanya seorang pejabat yang berwenang menertibkan rumah dinas sangat serius mengevaluasi penghuni Rumah Negara yang dianggap tidak memenuhi syarat. Ini dibenarkan apabila sumber beaya pengadaan rumah negara tersebut berasal dari uang negara (APBN) atau uang rakyat. Penertiban ini harus mengacu pada peraturan yang berlaku dan hukumnya wajib. Timbul persoalan lain jika biaya pengadaan diperoleh dari PNS sendiri melalui KPR/BTN dengan angsuran saat itu tergantung dari masa usia pensiun PNS yang bersangkutan mulai dari 7-20 tahun.
Tipe rumah RSS/36 (rumah sangat-sangat sederhana) ? Tanah terletak di dalam kampus masing-masing diberikan luas tanah 10x15 m, tetapi yang diurug hanya seukuran rumah yaitu 6x6m. Tentu halaman sekeliling rumah untuk dapat dihuni dengan layak penghuni harus mengeluarkan biaya pengurugan yang tidak sedikit. Bahan batako, atap asbes, ubin plester, tanpa plafon, tanpa pagar, jembatan yang menghubungkan jalan dengan rumah hanya sebesar 30x100 cm. Sebenarnya saya kurang berminat Rumah Negara ini namun karena saya terpaksa belum memiliki rumah sendiri.
Sebelumnya pihak instansi dimana saya bekerja menawarkan perumahan di luar kampus yaitu di Desa Buncitan, Kabupaten Sidoarjo, dan saat itu saya telah mengisi formulir kesediaan untuk rumah dinas Buncitan. Dasar pengadaan tanah Buncitan berasal dari tukar guling dengan BPPT, dimana BPPT dapat membangun Kantor dan Laboratorium Hidrodinamika di lingkungan kampus. Seharusnya instansi dimana kami bekerja dapat ganti untuk perumahan dosen/karyawan di Buncitan. Dalam perjalanan waktu ternyata pembangunan rumah di Buncitan tidak ada kabar beritanya. Hal inilah yang perlu diteliti mengapa aset milik kampus di Buncitan tidak jelas statusnya ? Sedangkan BPPT telah membangun dengan halaman yang begitu luas di area kampus.
Ketika diumumkan pengadaan rumah dinas dengan beaya sendiri 1993 beredar peraturan klausal Rumah Dinas yang dibeayai sendiri melalui KPR/BTN dapat dihuni oleh suami/istri PNS yang bersangkutan sampai meninggal dunia; atau dapat dialihkan kepada penghuni lain dalam lingkungan kita bekerja; dan diserahkan kepada negara. Para PNS memiliki minat karena ada klausal seperti tersebut di atas. Namun dalam perjalanan waktu muncul Peraturan Menteri yaitu Permendiknas No.76/2008 inilah yang dijadikan dasar perubahan hak hunian. Jika peraturan menteri tersebut telah ada saat itu yaitu 1993, saya yakin tidak ada yang berminat untuk mendaftar sebagai penghuni Rumah Dinas dengan beaya sendiri. Saya mencoba untuk menyampaikan argumentasi kepada para pejabat yang berwenang namun mereka tidak membedakan status rumah dinas beaya sendiri dengan rumah dinas yang dibangun dengan beaya dari negara (APBN).
Jika didasarkan dengan rasa keadilan tentu harus ada kebijakan yang lebih arif, dimana rumah dinas yang dibeayai negara dengan mengacu permendiknas no.76/2008, rumah dinas yang tinggal janda/duda PNS yang bersangkutan harus ditertibkan dan harus diserahkan kembali kepada negara melalui instansi dimana saya bekerja. Namun hal ini tidak dilaksanakan, dengan alasan kemanusiaan. Namun sebaliknya kenapa justru rumah dinas dengan beaya sendiri selalu diusik keberadaannya, apakah penghuni suami/istri tidak dapat meninggal dunia ???
Jika penghuni selalu disalahkan oleh pejabat dengan kesewenang-wenangnya, beliau tidak merasa memiliki kesalahan bahkan hati nurani terhadap penghuni yang sangat luar biasa beratnya untuk membeayai rumah dinas tersebut sampai layak huni. Ada beberapa rumah dinas yang dialihkan termasuk milik anak yatim-piatu seorang dosen (keduanya telah wafat) yang harus keluar tanpa mendapat beaya ganti rugi/pindah. Kemudian rumah tersebut telah dibangun kembali dengan beaya negara yang cukup mewah. Dalam alih huni tersebut telah diterbitkan ijin hunian terhadap sesorang pegawai yang sebenarnya dia sudah memiliki rumah sendiri yang tidak jauh dari kampus. Tidak ini saja sebagian besar mereka yang mendapat hak hunian karena hanya didasarkan pada cara daftar tunggu permohonan mendapatkan rumah dinas "waiting list". Sungguh-sungguh hal ini tidak ada rasa keadilan. Ketika saya mengajukan permohonan kelengkapan KPR/BTN saja harus menyertakan surat keterangan belum memiliki rumah sendiri, namun yang sekarang mungkin tidak dievaluasi dengan cermat sehingga hanya didasarkan urutan "waiting list" ?? Kemudian ada penghuni baru juga terkadang orangnya ada dan terkadang tidak, apakah tidak membuat masalah baru ??
Yang lebih memprihatinkan lagi pelepasan aset negara di dalam pagar kampus diberikan kepada beberapa pedagang tanaman hias. Apakah ini tidak menyimpang dari peraturan pemerintah no.76/2008. Yang jelas harus diusut tuntas tanah tersebut disewakan atau dikontrakkan atau dipungut retrebusi bulanan, hal inilah yang harus segera diusut tuntas oleh BPK/KPK. Bukan terhadap rumah dinas dengan beaya sendiri yang benar-benar saat itu tidak ringan apalagi penghasilan PNS saat itu benar-benar sangat memprihatinkan bahkan sebagian besar saat itu masih mengenal pinjaman "ngrolasi" artinya jika pinjam Rp.10.000,- harus mengembalikan sebesar Rp.12.000,- kepada renternir karena gaji tidak mencukupi.
Mudah-mudahan tulisan ini dapat menginpirasikan kepada semua pejabat agar tidak menggunakan kesewenang-wenangnya terhadap semua Penghuni Rumah Negara tanpa kecuali, sebaiknya menggunakan kebijakan berhati nurani dan melindungi segenap keluarga besar instansinya termasuk para pensiunan.Jika ingin diselesaikan sebaiknya dengan cara musyawarah dan mufakat sesuai dengan asas sila yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar