Langkah penertiban rumah dinas di Universitas
Negeri Malang (UM) diikuti dengan pembangunan rumah relokasi bagi mantan
penghuni rumah dinas. Pihak rektorat bekerja sama dengan Bank BTN dan
pengembang bakal membangun kompleks perumahan. Kita acungi jempol kepada
Universitas Negeri Malang yang menghargai penghuni rumah dinas, tentu hal ini
bisa dicontoh oleh perguruan-perguruan tinggi lainnya.
Salah satu contoh rumah dinas dibangun mulai tahun 1994 (sekarang berubah Rumah Negara), tipe RSS/36; bahan batako; genting asbes; tanpa plafon; ubin plester. Halaman samping dan belakang kubangan maklum bekas sawah. Untuk dapat menghuni rumah dinas tersebut PNS harus mengangsur selama 7-20 tahun dengan KPR-BTN tergantung usia pensiunnya. Sebelumnya dijanjikan untuk dapat ditempati sampai suami/istri PNS yang bersangkutan meninggal dunia; dan/atau rumah dinas ini bisa dialihhunikan sesama pegawai di lingkungannya. Namun apa yang terjadi setelah terbit permendiknas No.76/2008, muncul kesewenang-wenangan pejabat untuk mengusir penghuni sah dengan dalih menegakkan peraturan tersebut tanpa ganti rugi tanpa biaya pindah dan bahkan pakai batas 3 bulan yang lebih kejam yang terjadi adalah selambat-lambatnya 30 hari. Menggusur bangli (bangunan liar saja di bantaran sungai) dengan 32 juta pejabat yang bersangkutan masih memikirkan apakah penghuni bangli tersebut bersedia menerima ?
Dari artikel ini mudah-mudahan pejabat yang sewenang-wenang memiliki hati nurani dan akan mencontoh kasus yang serupa dalam artikel berikut ini.
“Kami Pejabat UM) memberikan solusi rumah terjangkau bagi
para pensiunan. Khususnya bagi mantan dosen yang memang tidak punya rumah,”
ungkap dosen sastra Indonesia
ini.
Penertiban rumah dinas dan aset tak bergerak
menjadi kewajiban tiga PTN di Malang. Di UM, penertiban memunculkan protes dari
para pengguna. Meski sudah harus hengkang, para penghuni ingin tetap tinggal
dan memiliki rumah dinas yang ditempati.
Rumah-rumah golongan II itu dianggap bisa
dimiliki dengan sebuah permohonan. Padahal, sesuai aturan, rumah golongan II
hanya disediakan bagi pegawai hingga mereka pensiun. Dengan begitu, setelah
pensiun, seharusnya meningalkan rumah tersebut. Ketentuan ini berbeda dengan
rumah golongan III yang bisa dimohon untuk dimiliki.
Suparno menegaskan, kewajiban penertiban rumah
dan aset adalah amanat dari peraturan. Bukan atas keinginan rektorat. Hasil
audit BPK merekomendasikan agar dilakukan penertiban. Sehingga, aset-aset
universitas jelas dan terdata. Aset-aset itu nantinya akan digunakan untuk
menghidupkan universitas ketika sudah harus menjadi BHP (badan hukum
pendidikan).
“Jadi bukan keinginan saya. Ini adalah peraturan.
Ya kebetulan rektornya pas saya,” kata Suparno. Pembangunan rumah alternatif, kata Suparno, sudah
dirancang sejak lama. UM ingin memberikan sebuah solusi ketika melakukan
penertiban. Dengan begitu, aturan ditegakkan tanpa mengedepankan
kesewenang-wenangan. (yos/war/radarmalang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar