Senin, 11 Februari 2013

Sebuah Inspirasi Buat Para Pejabat Yang akan menertibkan Rumah Negara atau Bangunan Liar

JAKARTA - Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo akan segera membersihkan area waduk Pluit, Jakarta Utara, dari pemukiman liar. Pasalnya, keberadaan pemukiman di wilayah itu sudah mengganggu fungsi waduk. "Mau tidak mau karena menyangkut keselamatan jutaan orang, tahun ini akan kita bersihkan sehingga benar-benar berfungsi sebagai waduk,’’ ujar gubernur yang biasa disapa Jokowi itu saat rapat dengan para wali kota, camat dan lurah se-Jakarta di Balai Kota DKI Jakarta, Rabu (23/1).


Waduk Pluit seluas 80 ha kini ditinggali 17 ribu kepala keluarga. Selain mengganggu fungsi waduk, para penghuni liar ini juga terancam bahaya akibat luapan air dari waduk seperti terjadi Jumat pekan lalu. Pemprov DKI akan memberikan pilihan bagi para penghuni waduk Pluit untuk pindah ke rumah susun milik pemerintah. Bahkan Pemprov bersedia menyediakan perabotan bagi warga yang bersedia pindah. Penghuni liar bukan satu-satunya masalah di waduk Pluit. Sedimentasi juga telah menyebabkan pendangkalan di waduk terbesar Jakarta itu.


Menurut Jokowi, kedalaman air di waduk Pluit sebenarnya mencapai 10 meter. Namun, akibat sedimentasi saat ini kedalaman air hanya sekitar 2-3 meter. Akibatnya, volume air yang mampu ditampung menurun drastis. ’’Sedimennya (endapannya, red) sampai tujuh meter, karena itu tahun ini mau kita sedot, dikeruk biar normal,’’ ujar Jokowi.

Sekadar diketahui, jebolnya tanggul di Kanal Banjir Barat (KBB), Kamis pekan lalu menyebabkan aliran air terpaksa dialihkan ke waduk Pluit. Kiriman air yang besar dari KBB itu tidak mampu ditampung waduk Pluit. Akibatnya wilayah Pluit sejak Jumat terendam banjir. Kondisi ini diperparah dengan tidak berfungsinya beberapa pompa di waduk pluit. Empat dari delapan pompa di waduk Pluit rusak akibat terendam air.

Sementara itu, Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki T Purnama mengatakan area waduk Pluit seluas 80 hektare itu berfungsi menampung air dari seluruh sungai di Jakarta. Tanpa waduk terbesar di Jakarta ini, imbuh dia, sekitar 40,6 persen wilayah ibukota akan terendam banjir.

"Ini memang objek vitalnya negara. Tapi sayang sudah dijarah orang sampai 20 hektare, itu persoalannya," kata Ahok kepada wartawan di Balai Kota DKI Jakarta, Rabu (23/1).

Menurut Ahok, keberadaan penghuni liar menyebabkan perawatan waduk tidak berjalan. Akibatnya, saat ini
kedalaman air di waduk Pluit tinggal 2-3 meter karena terjadi sedimentasi. Ahok menambahkan, usaha untuk merelokasi warga waduk Pluit sebenarnya sudah sering dilakukan.

Namun, usaha tersebut selalu mendapat perlawanan. Warga yang melakukan perlawanan itu jumlahnya hanya segelintir. Namun, sambung Ahok, segelintir orang ini memiliki pengaruh kuat di daerah sekitar waduk Pluit. "Di sana kan 75 persen penyewa, yang pemilik 25 persen doang. Yang marah-marah gak terima kan yang pemiliknya. Pemilik apa? Itu kan juga penjarah waduk menerobos tembok dibolongin," papar Ahok.

Konsep Green City

Pengamat kebijakan publik UI, Lisman Manurung mengungkapkan, belum tuntasnya penanganan banjir di Kota Jakarta lebih disebabkan konsep penataan kota yang masih tidak mumpuni. Konsep kota yang sejak dulu digandengkan pada fungsi sungai dan transportasi perairan telah terputus. Pemerintah daerah lebih fokus menjadikan kota Jakarta sebagai pusat perdagangan yang dikoneksikan pada transportasi darat saja.

Melupakan sejarah Jakarta sebagai kota pelabuhan yang sudah hidup sejak dulu. ’’Pemerintah kolonial telah melihat persoalan banjir Jakarta sebagai permasalahan pelik. Maka secara bertahap membangun berbagai fasilitas mengendalikan banjir itu,’’ papar Lisman Manurung dalam diskusi di Jakarta, Rabu (23/1).

Lisman membuktikan peran jalur perairan darat di jaman Kolonial begitu hidup. Menjadi bagian dari urat nadi perekonomian Jakarta. Bukan hanya pada fungsi lalu lintas darat yang memang saat itu belum begitu membesar. Menurutnya menjaga jalur perairan di Jakarta sebagai bagian kehidupan kota merupakan langkah tepat. Karena mengoptimalkan jalur perairan sekaligus mengendalikan masalah banjir yang memang sudah terjadi sejak dulu.

’’Di sinilah pergesaran itu terjadi. Sekarang kondisinya sudah parah. Perlu langkah cepat menuntaskannya,’’ ujar dosen FISIP UI ini.  Dia menuturkan langkah efektif mendorong recovery Jakarta dari bencana banjir, melalui penerapan konsep green city. Dengan konsep itulah pemerintah secara simultan mengembalikan Jakarta dalam lingkup kehidupan yang baik.

Dalam konsep green city, dia menilai terdapat berbagai upaya. Antara lain mengembangkan nilai lokal di Jakarta sekaligus mengaitkan dengan historis kota. ’’Pemerintah tak pernah memanfaatkan lembaga riset dalam mengambil kebijakan. Berbeda dengan negara-negara lain dalam menata kota,’’ imbuhnya. Disebutkan Lisman penataan kota Seoul, Korea Selatan perlu menjadi contoh baik. Kota itu memberikan jaringan nilai mendalam. Bukan sekadar kota cantik dan berkonsep lingkungan. Di kota itu, dia mengatakan penataan melibatkan lembaga riset, bernama Seoul Development Institute. Dalam lembaga itu melibatkan banyak ilmuwan. Mulai arkeolog, sejarahwan sampai pakar keilmuan lainnya.

’’Regulasi yang dibuat pemerintah tak memberikan arti cukup untuk melakukan perubahan dan penataan kota. Regulasi yang tak memiliki basis keilmuan, hanya jadi macan kertas semata,’’ ucapnya. (rko/dil) .

Bagaimanakah dengan pejabat-pejabat di tempat anda sudahkah memiliki karakter yang serupa dengan JOKOWI, tanah liar saja diselesaikan dengan cara yang lebih manusiawi, bermartabat dan tidak arogan !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar