Pertanyaan : konsultasi hukum
tentang Eksekusi Rumah Dinas :
Awalnya Instansi tempat kami
bekerja menawarkan kepada semua dosen/karyawan rumah dinas RSS/36 menggunakan
KPR-BTN dengan pelaksana PERUMNAS. Kami mendapatkan rumah dinas
tersebut dan membangun rumah dinas sendiri menggunakan KPR-BTN 10-15 tahun.
Karena saya mendekati usia pensiun saya hanya diperkenankan mengangsur selama 10
tahun.
Sebenarnya, sangat berat ketika
mengangsur serta membuat rumah tersebut layak untuk ditempati, maklum bekas
sawah di lingkungan kampus. Perjanjian semula, peserta dapat menempati rumah
dinas ini sampai suami/istri meninggal (Keputusan Mendiknas Nomor 0270/M/1980
dan SK Rektor 3002A/PT12.H/U/1993). Atau bisa dialihkan sesama karyawan dimana
kami bekerja.
Rumah seorang dosen yang masih asli tetapi sudah dilapis dengan semen dan cat putih, posisi di belakang pos, meski ada kelebihan tanah beliau tidak memanfaatkan kelebihan tersebut, bahkan kabarnya beliau juga terkena sanksi. Padahal beliau seorang dosen yang bergelar doktor masih aktif mengajar, memberikan ilmu kepada mahasiswa S1 maupun S2. Hanya orang yang memiliki hati nuranilah yang menyatakan keprihatinannya.
Namun, kemudian muncul SK hanya
sampai pensiun dan harus diserahkan pada instansi tanpa diberi biaya
penggantian sepeser pun. Bahkan belum pensiun sudah harus mengosongkan dan
menyerahkan kepada instansi selambat-lambatnya 3(tiga) bulan, karena diduga
tidak menggunakan sesuai fungsinya.
Bagaimana keputusan yang demikian
? Apakah kasus tersebut bisa menggunakan bantuan hukum atau PTUN, bagaimana
prosedurnya?
Hak sewenang-wenang pimpinan yang
demikian apakah dibenarkan dalam hukum?
Demikian atas perhatian dan
bantuannya sebelumnya kami sampaikan terima kasih.
Tjuk Suwarso
Jakarta
Konsultan memberikan jawaban
sebagai berikut :
Rumah yang sekarang bapak tempati
adalah rumah dinas yang diperoleh atas tawaran instansi tempat bapak bekerja,
dalam hal ini Mendiknas, untuk membangun rumah dengan biaya sendiri melalui
KPR/BTN dan hal tersebut diperkuat dengan adanya perjanjian yang didasarkan
Keputusan Mendiknas No.0270/M/1980 dan SK Rektor 3002A/PT12.H/U/1993 dimana
pada pokoknya mengatakan bahwa Bapak dan peserta lainnya dapat menempati rumah
dinas hingga suami/istri meninggal. Maka menurut hukum itulah seharusnya yang
dijadikan landasan bagi para pihak yang melakukan perjanjian tersebut.
Terlebih lagi, dalam PP Nomor 40
Tahun 1990 yang telah diubah dengan PP Nomor 31 Tahun 2005 Tentang Rumah
Negara, dimana dalam PP tersebut dikatakan, pensiunan, janda atau duda PNS
masih diakui sebagai penghuni rumah dinas. Artinya Peraturan Mendiknas tersebut
bisa dikatakan kedudukan hukumnya lemah, karena ada peraturan yang lebih tinggi
yang mengatur hak bapak untuk diakui sebagai penghuni rumah dinas. Jadi,
jelaslah bahwa bapak sebagai PNS atau nanti setelah pensiun masih berhak untuk
tinggal di rumah dinas tersebut.
Meski ada Peraturan Mendiknas
baru, perjanjian berdasarkan aturan yang lama, tidak serta merta dianggap cacat
hukum. Bila ingin mengacu pada peraturan yang baru, tentu semua pihak harus
duduk untuk berunding kembali. Peraturan Mendiknas Nomor 76/2008 tidak dapat
berlaku surut.
Namun apabila dilihat, aturan
baru tersebut, seharusnya tidak berbenturan atau bahkan melampaui pengaturannya
dengan aturan yang lebih tinggi sesuai asas lex
superiori derogat lex inferiori. Permendiknas
Nomor 76/2008 agaknya berbenturan dengan PP Nomor 40 Tahun 1990 yang telah
diubah dengan PP Nomor 31 Tahun 2005 Tentang Rumah Negara.
Apabila terdapat SK yang
merugikan kepentingan Bapak, dan secara spesifik ditujukan kepada anda dari Menteri
atau pejabat negara lainnya, anda tentu dapat melakukan gugatan melalui
Pengadilan Tata Usaha Negara untuk diminta membatalkannya.
Tentang masalah bangunan rumah,
tentu merupakan hak Bapak yang harus diperjuangkan karena bangunan yang berada
diatas tanah negara tersebut didirikan atas biaya bapak sendiri. Bapak dapat
berunding tentang biaya pengganti bangunan tersebut.
Mengenai eksekusi, itu hanya
dapat dilakukan setelah ada putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum
tetap dan mengikat. Sepanjang belum ada putusan pengadilan yang memiliki
kekuatan hukum tetap dan mengikat, eksekusi tersebut tidak dapat dilaksanakan
dan bila dilakukan maka perbuatan tersebut adalah pelanggaran hukum.
Nur Hariandi Tusni, SH.
Berdasarkan hasil konsultasi UKBH
secara langsung, jika eksekusi dilakukan secara paksa tanpa melalui proses
pengadilan, eksekusi tersebut merupakan perbuatan pelanggaran hukum dan menurut
beliau bisa dipidanakan.
Terima kasih yang
sebesar-besarnya saya sampaikan kepada Ibu-ibu atas segala masukannya kepada kami semua baik
yang sudah terkena kasus sekarang maupun yang akan datang. Mudah-mudahan
menjadi bahan renungan kita bersama bagaimana hukum itu berbicara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar