Kamis, 24 Januari 2013

Eksekusi Rumah Dinas Tanpa Kekuatan Hukum Tetap dan Mengikat.



Pertanyaan :  konsultasi hukum tentang Eksekusi Rumah Dinas :
Awalnya Instansi tempat kami bekerja menawarkan kepada semua dosen/karyawan rumah dinas RSS/36 menggunakan KPR-BTN dengan pelaksana PERUMNAS. Kami mendapatkan rumah dinas tersebut dan membangun rumah dinas sendiri menggunakan KPR-BTN 10-15 tahun. Karena saya mendekati usia pensiun saya hanya diperkenankan mengangsur selama 10 tahun.

Sebenarnya, sangat berat ketika mengangsur serta membuat rumah tersebut layak untuk ditempati, maklum bekas sawah di lingkungan kampus. Perjanjian semula, peserta dapat menempati rumah dinas ini sampai suami/istri meninggal (Keputusan Mendiknas Nomor 0270/M/1980 dan SK Rektor 3002A/PT12.H/U/1993). Atau bisa dialihkan sesama karyawan dimana kami bekerja.

Rumah seorang dosen yang masih asli tetapi sudah dilapis dengan semen dan cat putih, posisi di belakang pos, meski ada kelebihan tanah beliau tidak memanfaatkan kelebihan tersebut, bahkan kabarnya beliau juga terkena sanksi. Padahal beliau seorang dosen yang bergelar doktor masih aktif mengajar, memberikan ilmu kepada mahasiswa S1 maupun S2. Hanya orang yang memiliki hati nuranilah yang menyatakan keprihatinannya.

Namun, kemudian muncul SK hanya sampai pensiun dan harus diserahkan pada instansi tanpa diberi biaya penggantian sepeser pun. Bahkan belum pensiun sudah harus mengosongkan dan menyerahkan kepada instansi selambat-lambatnya 3(tiga) bulan, karena diduga tidak menggunakan sesuai fungsinya.
Bagaimana keputusan yang demikian ? Apakah kasus tersebut bisa menggunakan bantuan hukum atau PTUN, bagaimana prosedurnya?

Hak sewenang-wenang pimpinan yang demikian apakah dibenarkan dalam hukum?
Demikian atas perhatian dan bantuannya sebelumnya kami sampaikan terima kasih.

Tjuk Suwarso
Jakarta


Konsultan memberikan jawaban sebagai berikut :
Rumah yang sekarang bapak tempati adalah rumah dinas yang diperoleh atas tawaran instansi tempat bapak bekerja, dalam hal ini Mendiknas, untuk membangun rumah dengan biaya sendiri melalui KPR/BTN dan hal tersebut diperkuat dengan adanya perjanjian yang didasarkan Keputusan Mendiknas No.0270/M/1980 dan SK Rektor 3002A/PT12.H/U/1993 dimana pada pokoknya mengatakan bahwa Bapak dan peserta lainnya dapat menempati rumah dinas hingga suami/istri meninggal. Maka menurut hukum itulah seharusnya yang dijadikan landasan bagi para pihak yang melakukan perjanjian tersebut.

Terlebih lagi, dalam PP Nomor 40 Tahun 1990 yang telah diubah dengan PP Nomor 31 Tahun 2005 Tentang Rumah Negara, dimana dalam PP tersebut dikatakan, pensiunan, janda atau duda PNS masih diakui sebagai penghuni rumah dinas. Artinya Peraturan Mendiknas tersebut bisa dikatakan kedudukan hukumnya lemah, karena ada peraturan yang lebih tinggi yang mengatur hak bapak untuk diakui sebagai penghuni rumah dinas. Jadi, jelaslah bahwa bapak sebagai PNS atau nanti setelah pensiun masih berhak untuk tinggal di rumah dinas tersebut.

Meski ada Peraturan Mendiknas baru, perjanjian berdasarkan aturan yang lama, tidak serta merta dianggap cacat hukum. Bila ingin mengacu pada peraturan yang baru, tentu semua pihak harus duduk untuk berunding kembali. Peraturan Mendiknas Nomor 76/2008 tidak dapat berlaku surut.

Namun apabila dilihat, aturan baru tersebut, seharusnya tidak berbenturan atau bahkan melampaui pengaturannya dengan aturan yang lebih tinggi sesuai asas lex superiori derogat lex inferiori. Permendiknas Nomor 76/2008 agaknya berbenturan dengan PP Nomor 40 Tahun 1990 yang telah diubah dengan PP Nomor 31 Tahun 2005 Tentang Rumah Negara.

Apabila terdapat SK yang merugikan kepentingan Bapak, dan secara spesifik ditujukan kepada anda dari Menteri atau pejabat negara lainnya, anda tentu dapat melakukan gugatan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara untuk diminta membatalkannya.

Tentang masalah bangunan rumah, tentu merupakan hak Bapak yang harus diperjuangkan karena bangunan yang berada diatas tanah negara tersebut didirikan atas biaya bapak sendiri. Bapak dapat berunding tentang biaya pengganti bangunan tersebut.

Mengenai eksekusi, itu hanya dapat dilakukan setelah ada putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap dan mengikat. Sepanjang belum ada putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap dan mengikat, eksekusi tersebut tidak dapat dilaksanakan dan bila dilakukan maka perbuatan tersebut adalah pelanggaran hukum.

Nur Hariandi Tusni, SH.

Berdasarkan hasil konsultasi UKBH secara langsung, jika eksekusi dilakukan secara paksa tanpa melalui proses pengadilan, eksekusi tersebut merupakan perbuatan pelanggaran hukum dan menurut beliau bisa dipidanakan.

Terima kasih yang sebesar-besarnya saya sampaikan kepada Ibu-ibu atas segala masukannya kepada kami semua baik yang sudah terkena kasus sekarang maupun yang akan datang. Mudah-mudahan menjadi bahan renungan kita bersama bagaimana hukum itu berbicara.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar