Jika melihat tayangan mengenai keributan di makam mbah Priuk
kemarin maka yang terasa hanyalah kengerian yang amat sangat.
Bagaimana tidak ngeri ? Hal serupa dapat saja terjadi pada saat akan
dilakukan eksekusi rumah di kompleks IPDN, jl. Ampera, Jakarta, Kamis, 8
April 2010 yang baru lalu.
Di balik rasa ngeri tentu saja terbersit rasa syukur yang amat dalam bahwa kejadian serupa tidak harus terjadi di kompleks IPDN.
Bersyukur karena aparat satpol pp, polisi, aparat IPDN dan para
preman berhasil mengendalikan diri untuk tidak membabi buta melakukan
pengosongan lahan. Bersyukur karena para pensiunan dan keluarga yang
berjaga-jaga di garis depan dapat menahan diri untuk tidak terpancing
dengan aksi intimidasi dan provokasi. Seruan-seruan untuk memakai otak
dan bukan otot, serta himbauan untuk tidak mudah terprovokasi oleh
siapapun ikut mendinginkan banyak hati yang panas saat itu.
Dalam
keadaan mendesak, baru terasa pentingnya pengendalian atau penguasaan
diri. Tentu saja tidak mudah memiliki pengendalian diri yang baik di
tengah-tengah situasi memanas seperti itu. Apalagi rasa cemas, kecewa,
kesal dan amarah sedang memuncak akibat tekanan psikologis dari para
aparat yang hendak menunjukkan kuasanya. Namun sekali lagi, syukurlah
kedua belah pihak mampu menahan egonya. Sehingga eskalasi emosi yang
sempat memuncak dapat diredakan sekaligus menghindarkan munculnya aksi
anarkis yang dapat merugikan kedua belah pihak.
Peristiwa
itu memang sudah lewat. Kecemasan juga sudah semakin mereda. Namun
detik demi detik yang terjadi pada hari itu tidak akan terlupakan oleh
semua warga kompleks IPDN. Semoga apa yang terjadi pada saat itu juga
dapat meninggalkan jejak hikmah bagi aparat yang tengah bertugas. Bahwa
menyelesaikan masalah tidaklah selalu harus memakai otot. Jika hati
nurani dan otak dapat dipakai untuk mencapai mufakat bersama, mengapa
harus mengerdilkan diri dengan mengandalkan kekuatan fisik semata.
Salam damai bapak-bapak aparat yang sedang bertugas dimana saja.
Author: Esthi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar