Selasa, 29 Januari 2013

Gugatan Hukum Perkara Rumah Dinas Dosen UNRAM (2)


Kehendak melakukan privatisasi rumah dinas (rumdis) di kalangan penghuni rumdis Unram sudah berlangsung sejak lama. Keinginan itupun semakin menggebu sewaktu secara nasional hal serupa disuarakan para penghuni rumdis di banyak perguruan tinggi se Indonesia. Bak mendapat kawan senasib, para penghuni rumdis Unram semakin gigih memperjuangkan privatisasi yang akhirnya memilih menempuh gugatan hukum Episode kerenggangan hubungan junior-senior di lingkungan Universitas Mataram (Unram) berlanjut. Pekan lalu Koran Kampung menulis berita mengenai sejumlah mantan dosen dan janda mantan dosen penghuni Rumdis Unram yang diminta mengosongkan rumah yang mereka tempati. Perintah pengosongan itu datang dari pihak universitas. Pendekatan sesama keluarga besar, proses dialog dan negosiasi dengan Rektor Unram, menemui jalan buntu.

Perkara itu akhirnya berujung gugatan di pengadilan. Para petinggi Unram yang dahulu semasa mahasiswa belajar dari para mantan dosen itu, berseteru dengan senior mereka. Apa kata Rektor Unram Prof Sunarpi? “Ya, persoalan ini memang berlangsung cukup lama. Sekitar tahun 2003 lalu. Berawal dari keinginan privatisasi rumah dinas oleh para penghuni yang kemudian mendapat reaksi cukup keras dari kalangan kampus,” kisah Sunarpi, Selasa (27/9) pekan lalu.


Saat itu rektor masih dijabat oleh Prof Mansyur Ma’shum. Atas adanya reaksi kalangan kampus itu pihak universitas menerbitkan Surat Keputusan (SK) Senat Unram Tahun 2003 yang mengakomodir kehendak para penghuni melakukan privatisasi rumdis. Menurut Sunarpi, SK tersebut berangkat dari kompromi rektor sebelumnya yang kemudian memberikan kesempatan kepada penghuni untuk sementara waktu diizinkan menempati rumdis. Namun sampai batas waktu hingga janda para mantan dosen yang masih menempati rumdis meninggal dunia.

Sampai di sana, tak ada gejolak berarti hingga kemudian terbit Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 76 Tahun 2008. Permendiknas itu mengatur peruntukan rumah dinas di lingkungan Kementerian Pendidikan Nasional yang ternyata bertentangan dengan SK Senat Unram Tahun 2003 itu.

Permendiknas Nomor 76/2008 itu, jelas Prof Sunarpi, antara lain menyebutkan bahwa rumdis hanya boleh ditempati sampai batas pensiun. Selain itu, rumdis hanya diperuntukkan bagi dosen yang tak memiliki rumah tinggal pribadi. Akibatnya, meski sudah ada SK Senat yang mengizinkan keluarga mantan dosen boleh menempati rumah sampai janda mereka meninggal dunia, Permendagri harus menjadi acuan.

“Di Permendagri itu juga diatur, rumah dinas tidak boleh diubah bentuk dan fungsi. Kalau mau dilihat sudah terjadi perubahan bentuk sedemikian rupa oleh para penghuni. Juga perubahan fungsi dengan adanya kos-kosan, dan lain-lain,” terang Sunarpi.

Terbitnya Permendagri itu kemudian mendorong pihak Senat Unram untuk meminta para penghuni mengosongkan rumdis. “Itu dilakukan secara bertahap. Tahap pertama diberikan teguran per tiga bulan. Tiga bulan berikutnya, teguran lagi. Nah, April 2009 lalu saya dilantik (sebagai Rektor Unram), lantas melanjutkan surat teguran tersebut dan itu teguran yang ke tiga. Dalam surat teguran (ke tiga) itu tidak berubah bunyi dan substansi surat. Hanya mengubah tanggal,” terang Prof Sunarpi.

Jadi Atensi KPK

Tak selesai hingga surat teguran, kasus perseteruan ini terus bersipongang. Sebelumnya sempat pula menjadi perhatian Komisi Pemberantasan Korupsi setelah sejumlah penghuni rumdis di lingkungan Kemendiknas di daerah lain, juga menyuarakan privatisasi rumdis. Dorongan privatisasi itu menggejala secara nasional yang membuat KPK memerintahkan Kemendiknas melakukan audit investigasi di seluruh perguruan tinggi se Indonesia termasuk Unram.

“Turun lima sampai enam auditor dari Irjen Kemendiknas yang membuahkan kesepakatan antara Irjen dengan penghuni. Poinnya, siap mengembalikan atau mengosongkan rumah dinas sesuai Permendiknas setelah (dosen yang menghuni) pensiun. Kesepakatan antara Irjen dengan penghuni itu tanpa intervensi rektor,” terang Sunarpi.

Pasca-audit investigasi itu, keluar instruksi Mendiknas kepada Rektor Unram yang meminta rektor menerbitkan Surat Izin Penghunian (SIP) bagi dosen yang masih aktif yang dievaluasi setiap dua tahun. Berikutnya, jika memungkinkan mengubah status rumdis dari Kelas II menjadi Kelas I. Di mana Rumdis Kelas II dikategorikan sebagai rumah jabatan.

Selain itu, instruksi Mendiknas juga menyebutkan agar menaati Permendiknas 76/2008 tersebut dan menaati hasil audit investigasi yang sudah dilakukan. Tapi belakangan muncul lagi persoalan dengan adanya surat yang dikirimkan para penghuni kepada Presiden RI. Isi surat menggugat Permendiknas. “Saya terima surat tembusannya. Jadi surat yang dikirimkan itu mengingkari kesepakatan antara Irjen dengan penghuni meskipun surat itu kemudian dijawab Setneg yang menegaskan pengelolaan rumah dinas di lingkungan Kemendiknas mengacu kepada Permendiknas,” kata Sunarpi.

Kelanjutan dari instruksi Mendiknas yang menurut Prof Sunarpi kemudian diingkari oleh para penghuni itu mendorong pihak universitas mengambil langkah-langkah peringatan untuk mengosongkan rumah dinas.  Pasca-surat peringatan itu, kata Sunarpi lagi, ada penghuni yang merespons dengan menyerahkan rumdis, meski ada pula yang tidak.

Hingga kemudian, pada Agustus 2011 lalu terjadi dialog antara Rektor Prof Sunarpi dengan perwakilan penghuni. Dialog berakhir dengan kesepakatan bahwa Unram segera mengambilalih rumdis yang sudah diserahkan dan segera memanfaatkannya untuk keperluan institusi.

Kesepakatan kedua, jelas Sunarpi lagi, dilakukan inventarisasi kondisi penghuni antara yang memiliki rumah dan yang benar-benar tidak memiliki. “Yang tidak punya rumah, dengan alasan kemanusiaan akan dicarikan solusi oleh universitas,” jelas Prof Sunarpi.

15 Maret 2012 Oleh Budiman
Sumber : korankampung.com












 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar