Mataram,
3/10 (ANTARA) - Sebanyak 21 orang pensiunan dan janda dosen menggugat Rektor
Universitas Mataram Prof H Sunarpi PhD melalui PTUN Mataram karena mengeluarkan
surat keputusan pengosongan rumah dinas yang sudah ditempati puluhan tahun tanpa
dasar hukum yang kuat.
"Para mantan dosen yang sudah sepuh itu mengajukan gugatan terhadap Surat Keputusan Rektor Universitas Mataram (Unram) Nomor 3525 tentang Perintah Pengosongan Rumah Negara yang dikeluarkan pada 28 April 2011," kata penasihat hukum para pensiunan dan janda dosen Unram Taufik Budiman, di Mataram, Senin.
"Para mantan dosen yang sudah sepuh itu mengajukan gugatan terhadap Surat Keputusan Rektor Universitas Mataram (Unram) Nomor 3525 tentang Perintah Pengosongan Rumah Negara yang dikeluarkan pada 28 April 2011," kata penasihat hukum para pensiunan dan janda dosen Unram Taufik Budiman, di Mataram, Senin.
Pihak Unram berdalih bahwa para pensiunan dan janda dosen sudah tidak boleh lagi menempati rumah negara karena ada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 76/2008 tentang Pengelolaan Rumah Negara di lingkup Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas).
Namun
dasar hukum yang digunakan oleh Rektor Unram, kata Taufik, tidak kuat karena
ada aturan yang lebih tinggi yaitu Peraturan. Peraturan lainnya adalah Peraturan Presiden Nomor 11/2008 tentang Tata Cara
Pengadaan, Penetapan Status, Pengalihan Status dan Pengalihan Hak Atas Rumah
Negara, serta Peraturan Menteri Pekerjaaan Umum Nomor 22/2008 tentang Pedoman
Teknis Pengadaan, Pendaftaran, Penetapan Status, Penghunian, Pengalihan Status,
dan Pengalihan Hak Atas Rumah Negara.
Sesuai PP
dan Perpres serta Peraturan Menteri Pekerjaan Umum itu dimungkinkan pegawai
negeri sipil (PNS) yang sudah menempati rumah negara minimal sepuluh tahun bisa
mengajukan peralihan golongan rumah dan mengajukan pembelian agar bisa menjadi
hak milik. "Seluruh
pensiunan dosen dan janda dosen yang menggugat sudah menempati rumah negara
yang ada di sekitar kampus itu rata-rata 30 tahun, sehingga memungkinkan untuk
membeli rumah negara itu sesuai aturan," katanya. Ia juga menegaskan para pensiunan dosen itu merupakan tenaga pendidik yang
merintis Unram. Mereka dulunya mau jadi tenaga dosen karena ditawari rumah
dinas sebagai tempat tinggal hingga meninggal dunia.
Rumah
negara yang saat ini ditempati berstatus golongan dua dan bisa diubah menjadi
golongan tiga agar bisa dibeli menjadi hak milik. Namun, kata dia, pihak Unram hanya mengacu pada Permendiknas Nomor Nomor
76/2008 tentang Pengelolaan Rumah Negara di lingkup Kemdiknas yang berada di
bawah PP dan Perpres.
"Unram
juga hanya memahami aturan Permendiknas di bagian akhir yakni PNS harus
mengosongkan rumah negara yang ditempati tiga bulan setelah pensiun. Aturan itu
berlaku bagi PNS yang baru menempati dua atau tiga tahun. Kalau yang sudah
puluhan tahun boleh karena ada aturannya," katanya.
Taufik menegaskan gugatan terhadap Rektor Unram sudah direspon oleh PTUN Mataram dengan mengeluarkan penetapan untuk menetapkan pihak Unram menunda pelaksanaan SK Pengosongan Rumah Dinas.
Taufik menegaskan gugatan terhadap Rektor Unram sudah direspon oleh PTUN Mataram dengan mengeluarkan penetapan untuk menetapkan pihak Unram menunda pelaksanaan SK Pengosongan Rumah Dinas.
"Saat
ini para pensiunan dosen dan janda dosen masih tetap menempati rumah negara.
Upaya pertemuan dengan pihak Unram juga sudah dilakukan. Pada intinya para
mantan dosen yang sudah sepuh itu ingin solusi terbaik," ujarnya. Kuasa hukum Rektor Unram Syaepudin membenarkan adanya gugatan dari para
pensiunan dan janda dosen tersebut.
Pihaknya,
kata dia, akan menghadapi gugatan tersebut karena aturan yang dipegang sudah
jelas yakni Permendiknas Nomor 76/2008 tentang Pengelolaan Rumah Negara di lingkup
Kemdiknas.
"Kami ingin menegakkan aturan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Apalagi aturan itu sudah diterapkan di seluruh daerah karena sudah menjadi temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)," katanya. (*)
"Kami ingin menegakkan aturan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Apalagi aturan itu sudah diterapkan di seluruh daerah karena sudah menjadi temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)," katanya. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar