Untuk kita renungkan kembali meski seorang janda di dalam perjuangan mereka lebih berat dari pada pahlawannya sendiri ? “Tidak adil jika kemudian orang yang telah berjasa
kepada negara harus duduk di ‘kursi pesakitan’ hanya karena memperjuangkan
haknya.”
Dua janda
pahlawan bukanlah penghuni liar karena mereka sebelumnya telah mengantongi
surat izin penghunian dari negara selaku pemilik, sehingga saat mereka
menempati rumah dinas itu secara hukum dianggap sah. Pendapat itu disampaikan
Panangian Simanungkalit saat diperiksa sebagai ahli dalam kasus dua janda
pahlawan yang didakwa menyerobot rumah dinas di Pengadilan Negeri Jakarta
Timur, Selasa (1/6).
Kedua janda itu
adalah Soetarti Soekarno (78) istri mendiang HR
Soekarno dan Rusmini Husaini (78) istri Ahmad Husaini. Kedua suami mereka
merupakan pensiunan pegawai Perum Pegadaian yang juga veteran agresi militer
Belanda. Keduanya, diadili melakukan penyerobotan rumah dinas Perum Pegadaian
tanpa hak di daerah Cipinang Jaya II, Jakarta Timur, yang sudah mereka huni
selama 26 tahun sejak suaminya pensiun pada tahun 1985.
Pihak
Perum Pegadaian telah memberikan surat peringatan untuk mengosongkan rumah
dinas itu pada Juni 1996 dan Agustus 2008 lewat dua SK Direksi. Akan tetapi,
kedua terdakwa atau suaminya tak menggubris perintah itu hingga akhirnya Perum Pegadaian malah melaporkan ke Polres Jakarta
Timur. Mereka didakwa melanggar Pasal 12 ayat
(1) jo Pasal 36 ayat (4) UU No 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman dan
Pasal 167 ayat (1) KUHP.
Panangian
melanjutkan, menurut PP No. 31 Tahun 2005 tentang Perubahan PP No. 40 Tahun
1994 tentang Rumah Negara, setiap janda-duda pegawai negeri/pahlawan yang telah
menempati rumah negara berhak memohon untuk membeli rumah itu dengan harga 50
persen dari harga taksiran. Hal ini sudah banyak dilakukan di lembaga Tentara
Nasional Indonesia (TNI) khususnya golongan I-III jika sudah menempati minimal
10 tahun.
“Syarat rumah
negara bisa dialihkan penghuninya, pegawai negeri termasuk janda duda pahlawan,
memiliki surat izin penghunian yang sah, belum pernah memperoleh atau membeli
fasilitas perumahan dari negara,” jelas Panangian di hadapan majelis hakim
pimpinan K Mukhlis beranggotakan Tamrin dan Jumadi.
Namun
berdasarkan pengamatannya, sejak tahun 1990-an ketika para terdakwa berniat
ingin membeli rumah dinas itu, tetapi bertahun-tahun permohonan itu belum
dikabulkan oleh pihak yang berkepentingan. “Padahal janda ini mengajukan
permohonan untuk memiliki rumah itu sesuai aturan pemerintah, tetapi permohonan
itu belum diberikan izin.”
Secara umum,
Panangian menambahkan kebijakan perumahan yang terlalu pro pasar selama ini
menunjukkan kurang perhatiannya pemerintah terhadap masyarakat menengah ke
bawah yang memiliki keterbatasan daya beli termasuk pegawai negeri. “Kasus ini
sebenarnya jadi tamparan bagi pemerintah dan bisa menjadi instropeksi untuk
membenahi kebijakan perumahan,” kritiknya.
Penundaan
Sementara itu
pengajar Hukum Pidana Universitas Indonesia Rudy Satriyo, yang juga diperiksa
sebagai ahli dalam persidangan itu, menandaskan jika suatu perkara pidana
tengah disidangkan sementara ada perkara lain terkait kepemilikan, maka
seharusnya perkara pidana dilakukan penundaan (schorsing). Karenanya,
perkara pidana harus menunggu terlebih dahulu kasus sengketa kepemilikan di
PTUN yang sedang dalam proses kasasi. Hal itu diatur dalam Pasal 81
KUHP.
“Penundaan itu
dilakukan untuk menentukan kepemilikan yang lebih pasti. Kalau itu bukan hak
terdakwa, putusan perdata itu akan menguatkan kasus pidananya. Kalau sebaliknya
unsur melawan hukum menjadi hapus,” ujar Rudy.
Soal substansi
kasus, Rudi berpendapat ketentuan Pasal 36 ayat (4)
UU No 4 Tahun 1992 ditentukan ada atau tidaknya persetujuan si pemilik rumah
jika si penghuni menempati sebuah rumah. “Ini untuk menentukan apakah si
terdakwa dapat dikenakan Pasal 36 ayat (4) atau tidak,” jelasnya.
Sementara
dalam Pasal 167 (1) KUHP, kata Rudy, intinya seseorang dipidana jika memasuki
rumah atau pekarangan orang lain secara melawan hukum tanpa hak. “Sudah diminta
untuk keluar oleh si penghuninya, tetapi tak mau keluar. Orang ini layak
dikenakan Pasal 167 ayat (1) KUHP.”
Karenanya,
kasus ini harus ditentukan siapa penghuninya dan siapa yang datang menempati
rumah itu secara melawan hukum. Sebab, kedua pihak ini harus terpenuhi.
“Masalahnya siapa orang yang di dalam rumah dinas yang telah mengusir dia
(terdakwa, red). Kalau tak ada pihak ini, tentunya tak bisa dikenakan Pasal
ini.”
Di akhir keterangannya, Rudy terlihat
agak terharu dengan mata berkaca-kaca sambil berkata, ”Para janda pahlawan yang
saat ini berlawanan dengan hukum, rasa-rasanya pengorbanan yang diberikan
suaminya lebih besar nilainya jika dibandingkan rumah dinas tersebut. Jadi tak
adil jika kemudian orang yang telah berjasa kepada negara harus duduk di ‘kursi
pesakitan’ hanya karena memperjuangkan haknya.”
Bagaimana dengan kita seharusnya harus bersatu padu antara penghuni yang masih aktif dan sudah pensiun karena di mata hukum memiliki hak yang sama. Meski masih aktif apakah tidak akan memasuki usia pensiun ? Patut kita renungkan bersama.
Bagaimana dengan kita seharusnya harus bersatu padu antara penghuni yang masih aktif dan sudah pensiun karena di mata hukum memiliki hak yang sama. Meski masih aktif apakah tidak akan memasuki usia pensiun ? Patut kita renungkan bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar