Jumat, 25 Januari 2013

Dua Janda Pahlawan Bukan Penghuni Liar ?

Untuk kita renungkan kembali meski seorang janda di dalam perjuangan mereka lebih berat dari pada pahlawannya sendiri ? “Tidak adil jika kemudian orang yang telah berjasa kepada negara harus duduk di ‘kursi pesakitan’ hanya karena memperjuangkan haknya.”


Dua janda pahlawan bukanlah penghuni liar karena mereka sebelumnya telah mengantongi surat izin penghunian dari negara selaku pemilik, sehingga saat mereka menempati rumah dinas itu secara hukum dianggap sah. Pendapat itu disampaikan Panangian Simanungkalit saat diperiksa sebagai ahli dalam kasus dua janda pahlawan yang didakwa menyerobot rumah dinas di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Selasa (1/6). 

Kedua janda itu adalah Soetarti Soekarno (78) istri mendiang HR Soekarno dan Rusmini Husaini (78) istri Ahmad Husaini. Kedua suami mereka merupakan pensiunan pegawai Perum Pegadaian yang juga veteran agresi militer Belanda. Keduanya, diadili melakukan penyerobotan rumah dinas Perum Pegadaian tanpa hak di daerah Cipinang Jaya II, Jakarta Timur, yang sudah mereka huni selama 26 tahun sejak suaminya pensiun pada tahun 1985.
  
Pihak Perum Pegadaian telah memberikan surat peringatan untuk mengosongkan rumah dinas itu pada Juni 1996 dan Agustus 2008 lewat dua SK Direksi. Akan tetapi, kedua terdakwa atau suaminya tak menggubris perintah itu hingga akhirnya Perum Pegadaian malah melaporkan ke Polres Jakarta Timur. Mereka didakwa melanggar Pasal 12 ayat (1) jo Pasal 36 ayat (4) UU No 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman dan Pasal 167 ayat (1) KUHP.
Panangian melanjutkan, menurut PP No. 31 Tahun 2005 tentang Perubahan PP No. 40 Tahun 1994 tentang Rumah Negara, setiap janda-duda pegawai negeri/pahlawan yang telah menempati rumah negara berhak memohon untuk membeli rumah itu dengan harga 50 persen dari harga taksiran. Hal ini sudah banyak dilakukan di lembaga Tentara Nasional Indonesia (TNI) khususnya golongan I-III jika sudah menempati minimal 10 tahun.
“Syarat rumah negara bisa dialihkan penghuninya, pegawai negeri termasuk janda duda pahlawan, memiliki surat izin penghunian yang sah, belum pernah memperoleh atau membeli fasilitas perumahan dari negara,” jelas Panangian di hadapan majelis hakim pimpinan K Mukhlis beranggotakan Tamrin dan Jumadi.
  
Namun berdasarkan pengamatannya, sejak tahun 1990-an ketika para terdakwa berniat ingin membeli rumah dinas itu, tetapi bertahun-tahun permohonan itu belum dikabulkan oleh pihak yang berkepentingan. “Padahal janda ini mengajukan permohonan untuk memiliki rumah itu sesuai aturan pemerintah, tetapi permohonan itu belum diberikan izin.”
Secara umum, Panangian menambahkan kebijakan perumahan yang terlalu pro pasar selama ini menunjukkan kurang perhatiannya pemerintah terhadap masyarakat menengah ke bawah yang memiliki keterbatasan daya beli termasuk pegawai negeri. “Kasus ini sebenarnya jadi tamparan bagi pemerintah dan bisa menjadi instropeksi untuk membenahi kebijakan perumahan,” kritiknya. 

       
Penundaan
Sementara itu pengajar Hukum Pidana Universitas Indonesia Rudy Satriyo, yang juga diperiksa sebagai ahli dalam persidangan itu, menandaskan jika suatu perkara pidana tengah disidangkan sementara ada perkara lain terkait kepemilikan, maka seharusnya perkara pidana dilakukan penundaan (schorsing). Karenanya, perkara pidana harus menunggu terlebih dahulu kasus sengketa kepemilikan di PTUN yang sedang dalam proses kasasi. Hal itu diatur dalam Pasal 81 KUHP.  
 
“Penundaan itu dilakukan untuk menentukan kepemilikan yang lebih pasti. Kalau itu bukan hak terdakwa, putusan perdata itu akan menguatkan kasus pidananya. Kalau sebaliknya unsur melawan hukum menjadi hapus,” ujar Rudy.
Soal substansi kasus, Rudi berpendapat ketentuan Pasal 36 ayat (4) UU No 4 Tahun 1992 ditentukan ada atau tidaknya persetujuan si pemilik rumah jika si penghuni menempati sebuah rumah. “Ini untuk menentukan apakah si terdakwa dapat dikenakan Pasal 36 ayat (4) atau tidak,” jelasnya. 

Sementara dalam Pasal 167 (1) KUHP, kata Rudy, intinya seseorang dipidana jika memasuki rumah atau pekarangan orang lain secara melawan hukum tanpa hak. “Sudah diminta untuk keluar oleh si penghuninya, tetapi tak mau keluar. Orang ini layak dikenakan Pasal 167 ayat (1) KUHP.”
Karenanya, kasus ini harus ditentukan siapa penghuninya dan siapa yang datang menempati rumah itu secara melawan hukum. Sebab, kedua pihak ini harus terpenuhi. “Masalahnya siapa orang yang di dalam rumah dinas yang telah mengusir dia (terdakwa, red). Kalau tak ada pihak ini, tentunya tak bisa dikenakan Pasal ini.”

Di akhir keterangannya, Rudy terlihat agak terharu dengan mata berkaca-kaca sambil berkata, ”Para janda pahlawan yang saat ini berlawanan dengan hukum, rasa-rasanya pengorbanan yang diberikan suaminya lebih besar nilainya jika dibandingkan rumah dinas tersebut. Jadi tak adil jika kemudian orang yang telah berjasa kepada negara harus duduk di ‘kursi pesakitan’ hanya karena memperjuangkan haknya.” 

Bagaimana dengan kita seharusnya harus bersatu padu antara penghuni yang masih aktif dan sudah pensiun karena di mata hukum memiliki hak yang sama. Meski masih aktif apakah tidak akan memasuki usia pensiun ? Patut kita renungkan bersama.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar