23 KK pensiunan pegawai negeri sipil (PNS) IIP Ampera, Cilandak Timur,
Jakarta Selatan diselimuti keresahan. Mereka resah dan was-was terhadap
ancaman pengosongan paksa rumah dinas yang telah mereka tempati selama
puluhan tahun.
Habis manis sepah dibuang. Inilah pepatah yang tampaknya pas untuk
menggambarkan apa yang sedang dialami para pensiunan IIP. Setelah lebih
dari 30 tahun mengabdi dan berbakti, ternyata bukan penghargaan secara
pantas mereka terima dari instansi tempat mereka bekerja, melainkan
tindakan sewenang-wenang. Para pensiunan justru diperlakukan seperti
“kucing kurap” yang harus diusir keluar dari rumah dinas yang sudah
puluhan tahun mereka tempati.
Jelas, para pensiunan bukanlah “kucing kurap” yang bisa dengan seenaknya
diusir begitu saja. Apalagi, memang sebuah realitas, kebanyakan para
pensiunan belum memiliki rumah sendiri. Pasalnya, para pensiunan, selama
bekerja sebagai PNS di IIP, benar-benar menggunakan hati nurani dan
harga dirinya sebagai manusia. Sehingga selama puluhan tahun mereka
bekerja dengan gaji seadanya, yang bila dicompare lagi dengan jumlah
anak yang mereka miliki –rata-rata KK mempunyai 3 sampai 5 anak --,
jangankan untuk membeli rumah, mensekolahkan anaknya hingga jenjang
perguruan tinggi saja, sebenarnya mereka tidak mampu.
Para pensiunan IIP
ini, bukanlah tipe PNS seperti era sekarang, yang kebanyakan melakukan
“korupsi” kecil-kecilan dengan memanfaatkan kewenangannya sebagai aparat
birokrasi. Para pensiunan IIP ini adalah PNS yang mengedepankan
kejujuran hati dalam bekerja. Untuk menutupi banyak kekurangan dalam
pemenuhan kebutuhan hidup keluarga, mereka secara kreatif mencari
penghasilan sampingan dengan berbagai usaha halal. Inipun kebanyakan
bukan dilakukan oleh para suami yang PNS, melainkan oleh para ibu atau
istri mereka.
Para istri PNS IIP ini rata-rata mencari
penghasilan tambahan dengan berdagang. Ada yang membuka warung
kelontong, warung makan untuk para mahasiswa yang belajar di IIP, warung
sayur mayur, jualan kue, jasa pengetikan, dan lainnya. Namun, tidak
semua istri PNS ini yang beruntung bisa membantu sang suami dengan
melakukan usaha sambilan. Kebanyakan istri PNS IIP ini pyur sebagai ibu
rumah tangga.
“Suami saya pensiunan golongan II D. Sekarang ini,
gaji pensiunan suami yang saya terima setiap bulan hanya Rp900 ribu.
Jumlah ini juga baru naik semasa Presiden SBY. Masa-masa sebelumnya,
jauh di bawahnya. Jadi, selama suami masih aktif, uang gaji yang
diterima setiap bulan, boro-boro bisa ditabung untuk beli rumah, buat
makan sebulan aja kadang masih kurang,” kata Ngatmini, istri dari
Toegino yang pensiun sekitar tahun 1996, kepada IRNews, Jumat (9/4)
kemarin.
Ngatmini yang tinggal di blok C-06 menceritakan, untuk
memenuhi kebutuhan rumah tangganya, mulai dari kebutuhan makan hingga
kebutuhan sekolah ketiga anak-anaknya, suaminya mencari penghasilan
tambahan dengan bekerja serabutan setelah pulang kantor. “Seringnya
bapak membantu tetangga yang punya usaha. Kadang-kadang dia bekerja
menjual tanaman hias yang ditanamnya. Ya, macam-macamlah. Kalau saya,
seringnya membantu ibu-ibu yang punya usaha,” tuturnya. “Hasilnya enggak
seberapa, tapi lumayan untuk bisa menutupi keperluan di rumah,”
tambahnya.
Karena gaji suami tidak seberapa jumlahnya, dan tidak
punya banyak pendapatan diluar gaji itulah, diakui istri Toegino ini,
ketiga anak-anaknya tidak bisa melanjutkan sekolah sampai perguruan
tinggi. “Anak saya yang pertama perempuan, begitu tamat SMA, saya suruh
bekerja dan tidak kuliah,” tuturnya lagi. Begitu juga dengan kedua
adiknya. Mereka tidak ada yang kuliah. “Karena memang enggak punya biaya
untuk itu,” sedih Ngatmini.
Nasib sama dialami ibu Soejoed (67
tahun). Istri dari suami PNS yang sudah tinggal di IIP selama 38 tahun
ini, menceritakan sama sekali tidak banyak bisa membantu suami dalam
memperoleh penghasilan tambahan diluar gaji suami. Dirinya murni sebagai
ibu rumah tangga yang mengandalkan gaji suami bergolongan rendah, untuk
menutupi keperluan hidup keluarganya.
“Gaji suami habis hanya
untuk makan dan keperluan kecil lainnya. Menyisihkan uang gaji untuk
ditabung itu susah setengah mati. Apalagi untuk beli rumah,” tuturnya
dengan bibir gemetar. Karena itu, sambungnya, sejak suaminya pensiun
dirinya sangat kebingungan dan selalu dibayangi rasa ketakutan yang
teramat sangat dengan rencana pengosongan paksa yang akan dilakukan
pihak kemendagri dan IPDN. Seperti halnya yang sudah coba dilakukan Tim
IPDN pada Kamis (8/4) lalu.
Masih Punya Hak
Sebagaimana
sudah diberitakan banyak media, pada Kamis kemarin, para pensiunan PNS
IIP ini memblokir pintu gerbang masuk komplek untuk mencegah Tim IPDN
yang akan melakukan aksi pengosongan rumah dinas mereka. Para pensiunan
berbaris dan menutup pintu gerbang dengan pot tanaman. Bahkan
sebelumnya, pada pagi hari sekitar pukul 6.30, mereka yang kebanyakan
kaum ibu-ibu melakukan aksi nekad menghadang langsung truk milik IPDN
yang akan masuk komplek, dengan cara tiduran di jalanan persis di depan
truk. Sehingga mau tidak mau memaksa truk itu kembali mundur dan keluar
komplek.
Ketua Paguyuban pensiunan pegawai negeri sipil di IIP
Cilandak, Andy Ramses Marpaung, dalam banyak kesempatan mengatakan,
bahwa para pensiunan masih punya hak atas rumah dinas yang mereka
tempati sejak puluhan tahun ini. Tidak hanya berhak menempati rumah
dinas, bahkan para pensiunan memiliki hak untuk membeli rumah dinas
tersebut dengan cara dicicil. “PP 40 tahun 1994 yang telah diubah
menjadi PP no 31 tahun 2005 tentang rumah negara, memberikan peluang
bagi pensiunan untuk memiliki dan membeli rumah ini,” terangnya kepada
sejumlah wartawan termasuk IRNews.
Apalagi, kata Andy, sudah ada
contoh untuk pengalihan hak rumah negara ini di lingkungan departemen
dalam negeri. Ia sebutkan pengalihan hak rumah negara di lingkungan
kantor Direktorat Jenderal Pembangunan Desa (Bangdes) yang sekarang
berganti nama menjadi Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan
Desa, di Jalan Pasarminggu Raya KM 19. “Karena itu, kami minta, kami
juga bisa membeli rumah dinas ini,” tegasnya.
Pernyataan Andy ini diperkuat dengan surat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia (Komnas HAM). Komnas HAM
yang juga menerima pengaduan para pensiunan IIP/IPDN ini, dalam
suratnya tertanggal 7 April 2010 untuk Menteri Dalam Negeri, menyatakan,
berdasarkan Pasal 3 ayat (2) Undang-undang No 39/1999 tentang Hak Asasi
Manusia, dimana setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian
hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum.
Begitupun dikatakan
Direktur LBH Jakarta, Nurkholis Hidayat. Sehingga menanggapi rencana
Tim IPDN yang akan melakukan pengosongan paksa terhadap para pensiunan
di lingkungan perumahan IIP ini, Nurkholis Hidayat, menilai Kementerian
Dalam Negeri telah melakukan tindakan semena-mena, dan tidak menghargai
hukum. “Dalam menyelesaikan masalah ini pemerintah semestinya berdialog
dengan warga pensiunan. Bukan dengan cara pengusiran seperti ini,”
tegasnya. “Negara kita adalah negara hukum. Karena itu, apapun
persoalannya bila tidak bisa diselesaikan dengan cara dialog, harus
diselesaikan melalui cara hukum,” tambahnya.
Sementara itu,
Inspektur Wilayah I Inspektorat Jenderal Departemen Dalam Negeri,
Soetjahjo, dalam kesempatan yang sama, sempat bersitegang dengan
paguyuban pensiunan karena melontarkan, dialog percuma dilakukan karena
tidak ada titik temu. “Percuma, dialog sudah dilakukan beberapa kali,
tapi tidak pernah ada titik temu,” ujarnya yang juga disaksikan oleh
wartawan dan juga anggota LBH.
Pertanyaannya, benarkah
permasalahan rumah dinas yang ditempati warga pensiunan dengan instansi
bersangkutan tidak bisa diselesaikan dengan cara dialog? Bila dalam
dialog memang tidak terjadi kesepakatan, cara apakah yang semustinya
ditempuh? Cara kekerasan ataukah cara hukum?
Marilah, kita
sebagai bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi norma agama dan
Pancasila, sudah sepatutnya sama-sama berpikir arif dan jernih dalam
menyelesaikan sebuah permasalahan. Tidak lagi dengan cara-cara
kekerasan, apalagi semata-mata beralasan karena melaksanakan tugas.
Source: www.indonesiarayanews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar